bisnis, syariah, duit, kuliah, makalah, naryanto, anto, uu, peraturan, skripsi, online, mlm, iklan
UU Penerbangan
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2009
TENTANG
PENERBANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENERBANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
54. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan penerbangan.
55. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2Penerbangan diselenggarakan berdasarkan asas:
a. manfaat;
b. usaha bersama dan kekeluargaan;
c. adil dan merata;
d. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;
e. kepentingan umum;
f. keterpaduan;
g. tegaknya hukum;
h. kemandirian;
i. keterbukaan dan anti monopoli;
j. berwawasan lingkungan hidup;
k. kedaulatan negara;
l. kebangsaan; dan
m. kenusantaraan.
Pasal 3Penerbangan diselenggarakan dengan tujuan:
c. membina jiwa kedirgantaraan;
d. menjunjung kedaulatan negara;
h. meningkatkan ketahanan nasional; dan
i. mempererat hubungan antarbangsa.
BAB III
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
Pasal 4Undang-Undang ini berlaku untuk:
BAB IV
KEDAULATAN ATAS WILAYAH UDARA
Pasal 5Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.
Pasal 6Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara.
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9Ketentuan lebih lanjut mengenai pelanggaran wilayah kedaulatan, penetapan kawasan udara terlarang, kawasan udara terbatas, pelaksanaan tindakan terhadap pesawat udara dan personel pesawat udara, serta tata cara dan prosedur pelaksanaan tindakan pemaksaan oleh pesawat udara negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PEMBINAAN
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
BAB VI
RANCANG BANGUN DAN PRODUKSI PESAWAT UDARA
Bagian Kesatu
Rancang Bangun Pesawat Udara
Pasal 13
Pasal 14Setiap orang yang melakukan kegiatan rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 harus mendapat surat persetujuan.
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur mendapatkan surat persetujuan rancang bangun, kegiatan rancang bangun, dan perubahan rancang bangun pesawat udara, sertifikat tipe, serta sertifikat validasi tipe diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Produksi Pesawat Udara
Pasal 19
Pasal 20Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat produksi pesawat udara diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 21Proses sertifikasi pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 19 dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pelayanan umum.
Pasal 22Proses sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dikenakan biaya.
Pasal 23Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VII
PENDAFTARAN DAN KEBANGSAAN PESAWAT UDARA
Pasal 24Setiap pesawat udara yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran.
Pasal 25Pesawat udara sipil yang dapat didaftarkan di Indonesia harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. tidak terdaftar di negara lain; dan
Pasal 26
Pasal 27
Pasal 28
Pasal 29Pesawat udara yang telah memiliki tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dapat dihapus tanda pendaftarannya apabila:
Pasal 30Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pendaftaran dan penghapusan tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan Indonesia serta pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 31Proses sertifikasi pendaftaran pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan penghapusan tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pelayanan umum.
Pasal 32Proses sertifikasi pendaftaran pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dikenakan biaya.
Pasal 33Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VIII
KELAIKUDARAAN DAN PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA
Bagian Kesatu
Kelaikudaraan Pesawat Udara
Pasal 34
Pasal 35Sertifikat Kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) terdiri atas:
a. sertifikat kelaikudaraan standar; dan
b. sertifikat kelaikudaraan khusus.
Pasal 36Sertifikat kelaikudaraan standar diberikan untuk pesawat terbang kategori transpor, normal, kegunaan (utility), aerobatik, komuter, helikopter kategori normal dan transpor, serta kapal udara dan balon berpenumpang.
Pasal 37
Pasal 38Sertifikat kelaikudaraan khusus diberikan untuk pesawat udara yang penggunaannya khusus secara terbatas (restricted), percobaan (experimental), dan kegiatan penerbangan yang bersifat khusus.
Pasal 39Setiap orang yang melanggar ketentuan standar kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan sertifikat; dan/atau
c. pencabutan sertifikat.
Pasal 40Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Operasi Pesawat Udara
Pasal 41(2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
Pasal 42Untuk mendapatkan sertifikat operator pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a operator harus:
a. memiliki izin usaha angkutan udara niaga;
e. memiliki personel manajemen yang kompeten dengan jumlah memadai;
f. memiliki dan/atau menguasai fasilitas pengoperasian pesawat udara;
g. memiliki dan/atau menguasai persediaan suku cadang yang memadai;
j. memiliki standar perawatan pesawat udara;
Pasal 43Untuk memperoleh sertifikat pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf b, operator harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki izin kegiatan angkutan udara bukan niaga;
d. memiliki standar pengoperasian pesawat udara; dan
e. memiliki standar perawatan pesawat udara.
Pasal 44Setiap orang yang melanggar ketentuan sertifikat operasi pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan sertifikat; dan/atau
c. pencabutan sertifikat.
Pasal 45Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat operator pesawat udara atau sertifikat pengoperasian pesawat udara dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Perawatan Pesawat Udara
Pasal 46
Pasal 47
Pasal 48Untuk mendapatkan sertifikat organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan:
c. memiliki pedoman perawatan dan pemeriksaaan;
d.memiliki pedoman perawatan dan pemeriksaan (maintenance manuals)terkini yang dikeluarkan oleh pabrikan sesuai dengan jenis pesawat udara yang dioperasikan;
g. memiliki pedoman sistem manajemen keselamatan.
Pasal 49Sertifikat organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf b dapat diberikan kepada organisasi perawatan pesawat udara di luar negeri yang memenuhi persyaratan setelah memiliki sertifikat organisasi perawatan pesawat udara yang diterbitkan oleh otoritas penerbangan negara yang bersangkutan.
Pasal 50Setiap orang yang melanggar ketentuan perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. pembekuan sertifikat; dan/atau
b. pencabutan sertifikat.
Pasal 51Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, prosedur, dan pemberian sertifikat organisasi perawatan pesawat udara dan lisensi ahli perawatan pesawat udara dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Keselamatan dan Keamanan dalam Pesawat Udara
Selama Penerbangan
Pasal 52
Pasal 53
Pasal 54Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan dilarang melakukan:
a. perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan;
b. pelanggaran tata tertib dalam penerbangan;
d. perbuatan asusila;
e. perbuatan yang mengganggu ketenteraman; atau
f. pengoperasian peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan.
Pasal 55Selama terbang, kapten penerbang pesawat udara yang bersangkutan mempunyai wewenang mengambil tindakan untuk menjamin keselamatan, ketertiban, dan keamanan penerbangan.
Pasal 56
Pasal 57Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan dalam pesawat udara, kewenangan kapten penerbang selama penerbangan, dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Personel Pesawat Udara
Pasal 58
Pasal 59(1) Personel pesawat udara yang telah memiliki lisensi wajib:
Pasal 60Lisensi personel pesawat udara yang diberikan oleh negara lain dapat diakui melalui proses pengesahan oleh Menteri.
Pasal 61Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, atau sertifikat kompetensi dan lembaga pendidikan dan/atau pelatihan diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Asuransi dalam Pengoperasian Pesawat Udara
Pasal 62(1) Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara wajib mengasuransikan:
Bagian Ketujuh
Pengoperasian Pesawat Udara
Pasal 63
Pasal 64Proses sertifikasi kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), sertifikasi operator pesawat udara dan sertifikasi pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2), sertifikasi organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, sertifikasi organisasi perawatan pesawat udara di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, dan lisensi personel pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pelayanan umum.
Pasal 65Proses sertifikasi dan lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dikenakan biaya.
Pasal 66Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kedelapan
Pesawat Udara Negara
Pasal 67
Pasal 68Dalam keadaan tertentu pesawat udara negara dapat dipergunakan untuk keperluan angkutan udara sipil dan sebaliknya.
Pasal 69Penggunaan pesawat udara negara asing untuk kegiatan angkutan udara dari dan ke atau melalui wilayah Republik Indonesia hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin Pemerintah.
Pasal 70Ketentuan lebih lanjut mengenai pesawat udara negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
KEPENTINGAN INTERNASIONAL
ATAS OBJEK PESAWAT UDARA
Pasal 71Objek pesawat udara dapat dibebani dengan kepentingan internasional yang timbul akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat, dan/atau perjanjian sewa guna usaha.
Pasal 72Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dapat dibuat berdasarkan hukum yang dipilih oleh para pihak pada perjanjian tersebut.
Pasal 73Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 tunduk pada hukum Indonesia, perjanjian tersebut harus dibuat dalam akta otentik yang paling sedikit memuat:
a. identitas para pihak;
b. identitas dari objek pesawat udara; dan
c. hak dan kewajiban para pihak.
Pasal 74
Pasal 75
Pasal 76Kementerian yang membidangi urusan penerbangan dan instansi pemerintah lainnya harus membantu dan memperlancar pelaksanaan upaya pemulihan yang dilakukan oleh kreditur berdasarkan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71.
Pasal 77Hak-hak kreditur dan upaya pemulihan timbul pada saat ditandatanganinya perjanjian oleh para pihak.
Pasal 78Kepentingan internasional, termasuk setiap pengalihan dan/atau subordinasi dari kepentingan tersebut, memperoleh prioritas pada saat kepentingan tersebut didaftarkan pada kantor pendaftaran internasional.
Pasal 79
Pasal 80Pengadilan, kurator, pengurus kepailitan, dan/atau debitur harus menyerahkan penguasaan objek pesawat udara kepada kreditur yang berhak dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 81Tagihan-tagihan tertentu memiliki prioritas terhadap tagihan dari pemegang kepentingan internasional yang terdaftar atas objek pesawat udara.
Pasal 82Ketentuan dalam konvensi internasional mengenai kepentingan internasional dalam peralatan bergerak dan protokol mengenai masalah-masalah khusus pada peralatan pesawat udara, di mana Indonesia merupakan pihak mempunyai kekuatan hukum di Indonesia dan merupakan ketentuan hukum khusus (lex specialis).
BAB X
ANGKUTAN UDARA
Bagian Kesatu
Jenis Angkutan Udara
Paragraf 1
Angkutan Udara Niaga
Pasal 83(1) Kegiatan angkutan udara terdiri atas:
Pasal 84Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga.
Pasal 85
Pasal 86
Pasal 87
Pasal 88
Pasal 89
Pasal 90
Pasal 91
Pasal 92Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal dapat berupa:
d. taksi udara (air taxi); atau
e. kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal lainnya.
Pasal 93
Pasal 94
Pasal 95
Pasal 96Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga, kerja sama angkutan udara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 2
Pelayanan Angkutan Udara Niaga Berjadwal
Pasal 97
Pasal 98
Pasal 99
Pasal 100Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Angkutan Udara Bukan Niaga
Pasal 101(2) Kegiatan angkutan udara bukan niaga berupa:
Pasal 102
Pasal 103Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan udara bukan niaga, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 4
Angkutan Udara Perintis
Pasal 104(4) Angkutan udara perintis dievaluasi oleh Pemerintah setiap tahun.
Pasal 105Dalam keadaan tertentu angkutan udara perintis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dapat dilakukan oleh pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga.
Pasal 106(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
Pasal 107Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara perintis diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Perizinan Angkutan Udara
Paragraf 1
Perizinan Angkutan Udara Niaga
Pasal 108
Pasal 109
Pasal 110
Pasal 111
Pasal 112(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi setiap tahun.
Pasal 113
Pasal 114Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin usaha angkutan udara niaga dan pengangkatan direksi perusahaan angkutan udara niaga diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 2
Perizinan Angkutan Udara Bukan Niaga
Pasal 115
Pasal 116(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi setiap tahun.
Pasal 117Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin kegiatan angkutan udara bukan niaga diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Kewajiban Pemegang Izin Angkutan Udara
Pasal 118(1) Pemegang izin usaha angkutan udara niaga wajib:
Pasal 119
Pasal 120Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang izin angkutan udara, persyaratan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 121
Bagian Ketiga
Jaringan dan Rute Penerbangan
Pasal 122
Pasal 123
Pasal 124
Pasal 125Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan serta pemanfaatan jaringan dan rute penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
T a r i f
Pasal 126
Pasal 127
Pasal 128
Pasal 129Tarif penumpang angkutan udara niaga dan angkutan kargo berjadwal luar negeri ditetapkan dengan berpedoman pada hasil perjanjian angkutan udara bilateral atau multilateral.
Pasal 130Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara perintis serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Kegiatan Usaha Penunjang Angkutan Udara
Pasal 131
Pasal 132Untuk mendapatkan izin usaha penunjang angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) wajib memenuhi persyaratan memiliki:
b. nomor pokok wajib pajak (NPWP);
c. surat keterangan domisili yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang;
e. tanda bukti modal yang disetor;
f. garansi/jaminan bank; serta
g. kelayakan teknis dan operasi.
Pasal 133Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur pemberian izin kegiatan usaha penunjang angkutan udara diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Pengangkutan untuk Penyandang Cacat, Lanjut Usia,
Anak–Anak, dan/atau Orang Sakit
Pasal 134
Pasal 135Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Pengangkutan Barang Khusus dan Berbahaya
Pasal 136
Pasal 137Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 138
Pasal 139Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara prosedur pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedelapan
Tanggung Jawab Pengangkut
Paragraf 1
Wajib Angkut
Pasal 140
Paragraf 2
Tanggung Jawab Pengangkut terhadap
Penumpang dan/atau Pengirim Kargo
Pasal 141
Pasal 142
Pasal 143Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya.
Pasal 144Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.
Pasal 145Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut.
Pasal 146Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.
Pasal 147 a
Pasal 148Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 sampai dengan Pasal 147 tidak berlaku untuk:
a. angkutan pos;
c. angkutan udara bukan niaga.
Pasal 149Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu keterlambatan angkutan udara diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Dokumen Angkutan Penumpang, Bagasi, dan Kargo
Pasal 150Dokumen angkutan udara terdiri atas:
a. tiket penumpang pesawat udara;
b. pas masuk pesawat udara (boarding pass);
c. tanda pengenal bagasi (baggage identification/claim tag); dan
d. surat muatan udara (airway bill).
Pasal 151
Pasal 152
Pasal 153
Pasal 154Tiket penumpang dan tanda pengenal bagasi dapat disatukan dalam satu dokumen angkutan udara.
Pasal 155
Pasal 156
Pasal 157Surat muatan udara tidak dapat diperjualbelikan atau dijadikan jaminan kepada orang lain dan/atau pihak lain.
Pasal 158Pengangkut wajib memberi prioritas pengiriman dokumen penting yang bersifat segera serta kargo yang memuat barang mudah rusak dan/atau cepat busuk (perishable goods).
Pasal 159Dalam hal pengirim kargo menyatakan secara tertulis harga kargo yang sebenarnya, pengangkut dan pengirim kargo dapat membuat kesepakatan khusus untuk kargo yang memuat barang mudah rusak dan/atau cepat busuk dengan mengecualikan besaran kompensasi tanggung jawab yang diatur dalam undang-undang ini.
Pasal 160Pengangkut dan pengirim kargo dapat menyepakati syarat-syarat khusus untuk angkutan kargo:
Pasal 161(1) Pengirim bertanggung jawab atas kebenaran surat muatan udara.
Pasal 162
Pasal 163Dalam hal kargo belum diserahkan kepada penerima, pengirim dapat meminta kepada pengangkut untuk menyerahkan kargo tersebut kepada penerima lain atau mengirimkan kembali kepada pengirim, dan semuanya atas biaya dan tanggung jawab pengirim.
Pasal 164
Paragraf 4
Besaran Ganti Kerugian
Pasal 165
Pasal 166Pengangkut dan penumpang dapat membuat persetujuan khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih tinggi dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (1).
Pasal 167Jumlah ganti kerugian untuk bagasi kabin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ditetapkan setinggi-tingginya sebesar kerugian nyata penumpang.
Pasal 168
Pasal 169Pengangkut dan penumpang dapat membuat persetujuan khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih tinggi dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1).
Pasal 170Jumlah ganti kerugian untuk setiap keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 171Dalam hal orang yang dipekerjakan atau mitra usaha yang bertindak atas nama pengangkut digugat untuk membayar ganti kerugian untuk kerugian yang timbul karena tindakan yang dilakukan di luar batas kewenangannya, menjadi tanggung jawab yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 172(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:
Paragraf 5
Pihak yang Berhak Menerima Ganti Kerugian
Pasal 173
Paragraf 6
Jangka Waktu Pengajuan Klaim
Pasal 174
Pasal 175
Paragraf 7
Hal Gugatan
Pasal 176Penumpang, pemilik bagasi kabin, pemilik bagasi tercatat, pengirim kargo, dan/atau ahli waris penumpang, yang menderita kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 173 dapat mengajukan gugatan terhadap pengangkut di pengadilan negeri di wilayah Indonesia dengan menggunakan hukum Indonesia.
Pasal 177Hak untuk menggugat kerugian yang diderita penumpang atau pengirim kepada pengangkut dinyatakan kedaluwarsa dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung mulai tanggal seharusnya kargo dan bagasi tersebut tiba di tempat tujuan.
Paragraf 8
Pernyataan Kemungkinan Meninggal Dunia
bagi Penumpang Pesawat Udara yang Hilang
Pasal 178
Paragraf 9
Wajib Asuransi
Pasal 179Pengangkut wajib mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap penumpang dan kargo yang diangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 146.
Pasal 180Besarnya pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 sekurang-kurangnya harus sama dengan jumlah ganti kerugian yang ditentukan dalam Pasal 165, Pasal 168, dan Pasal 170.
Paragraf 10
Tanggung Jawab pada Angkutan Udara
oleh Beberapa Pengangkut Berturut – turut
Pasal 181
Paragraf 11
Tanggung Jawab pada Angkutan Intermoda
Pasal 182
Paragraf 12
Tanggung Jawab Pengangkut Lain
Pasal 183Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144 Pasal 145, dan Pasal 146 berlaku juga bagi angkutan udara yang dilaksanakan oleh pihak pengangkut lain yang mengadakan perjanjian pengangkutan selain pengangkut.
Paragraf 13
Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Pihak Ketiga
Pasal 184
Pasal 185Pengangkut dapat menuntut pihak ketiga yang mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap penumpang, pengirim, atau penerima kargo yang menjadi tanggung jawab pengangkut.
Paragraf 14
Persyaratan Khusus
Pasal 186
Bagian Kesembilan
Angkutan Multimoda
Pasal 187
Pasal 188Angkutan multimoda dilakukan oleh badan usaha yang telah mendapat izin untuk melakukan angkutan multimoda dari Menteri.
Pasal 189
Pasal 190Badan usaha angkutan multimoda wajib mengasuransikan tanggung jawabnya.
Pasal 191Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
KEBANDARUDARAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 192Bandar udara terdiri atas:
a. bandar udara umum, yang selanjutnya disebut bandar udara; dan
b. bandar udara khusus.
Bagian Kedua
Tatanan Kebandarudaraan Nasional
Pasal 193
Pasal 194Bandar udara memiliki peran sebagai:
a. simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hierarkinya;
b. pintu gerbang kegiatan perekonomian;
c. tempat kegiatan alih moda transportasi;
d. pendorong dan penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan;
f. prasarana memperkukuh Wawasan Nusantara dan kedaulatan negara.
Pasal 195Bandar udara berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan:
a. pemerintahan; dan/atau
b. pengusahaan.
Pasal 196Penggunaan bandar udara terdiri atas bandar udara internasional dan bandar udara domestik.
Pasal 197
Pasal 198Klasifikasi bandar udara terdiri atas beberapa kelas bandar udara yang ditetapkan berdasarkan kapasitas pelayanan dan kegiatan operasional bandar udara.
Pasal 199(3) Rencana induk nasional bandar udara memuat:
Pasal 200
Bagian Ketiga
Penetapan Lokasi Bandar Udara
Pasal 201(1) Lokasi bandar udara ditetapkan oleh Menteri.
(2) Penetapan lokasi bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
Pasal 202Rencana induk bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (2) huruf b paling sedikit memuat:
a. prakiraan permintaan kebutuhan pelayanan penumpang dan kargo;
b. kebutuhan fasilitas;
c. tata letak fasilitas;
d. tahapan pelaksanaan pembangunan;
e. kebutuhan dan pemanfaatan lahan;
f. daerah lingkungan kerja;
g. daerah lingkungan kepentingan;
h. kawasan keselamatan operasi penerbangan; dan
i. batas kawasan kebisingan.
Pasal 203
Pasal 204
Pasal 205
Pasal 206Kawasan keselamatan operasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf h terdiri atas:
a. kawasan ancangan pendaratan dan lepas landas;
b. kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan;
c. kawasan di bawah permukaan transisi;
d. kawasan di bawah permukaan horizontal-dalam;
e. kawasan di bawah permukaan kerucut; dan
f. kawasan di bawah permukaan horizontal-luar.
Pasal 207Batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf i merupakan kawasan tertentu di sekitar bandar udara yang terpengaruh gelombang suara mesin pesawat udara yang terdiri atas:
a. kebisingan tingkat I;
b. kebisingan tingkat II; dan
c. kebisingan tingkat III.
Pasal 208
Pasal 209Batas daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan, kawasan keselamatan operasi penerbangan, dan batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i ditetapkan dengan koordinat geografis.
Pasal 210Setiap orang dilarang berada di daerah tertentu di bandar udara, membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan, kecuali memperoleh izin dari otoritas bandar udara.
Pasal 211
Pasal 212Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menjamin tersedianya aksesibilitas dan utilitas untuk menunjang pelayanan bandar udara.
Pasal 213Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan lokasi bandar udara dan tempat pelayanan penunjang di luar daerah lingkungan kerja diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Pembangunan Bandar Udara
Pasal 214Bandar udara sebagai bangunan gedung dengan fungsi khusus, pembangunannya wajib memperhatikan ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, mutu pelayanan jasa kebandarudaraan, kelestarian lingkungan, serta keterpaduan intermoda dan multimoda.
Pasal 215
Pasal 216Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan bandar udara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Pengoperasian Bandar Udara
Paragraf 1
Sertifikasi Operasi Bandar Udara
Pasal 217
Pasal 218Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan, pelayanan jasa bandar udara, serta tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau register bandar udara dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 2
Fasilitas Bandar Udara
Pasal 219
Pasal 220
Pasal 221Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas bandar udara serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Personel Bandar Udara
Pasal 222
Pasal 223(1) Personel bandar udara yang telah memiliki lisensi wajib:
Pasal 224Lisensi personel bandar udara yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh Menteri.
Pasal 225Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Penyelenggaraan Kegiatan di Bandar Udara
Paragraf 1
Kegiatan Pemerintahan di Bandar Udara
Pasal 226
Tidak ada komentar:
Posting Komentar