bisnis, syariah, duit, kuliah, makalah, naryanto, anto, uu, peraturan, skripsi, online, mlm, iklan

Senin, 02 Mei 2011

UU Penerbangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2009
TENTANG
PENERBANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:  UNDANG-UNDANG TENTANG PENERBANGAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
54. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan penerbangan.
55. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Penerbangan diselenggarakan berdasarkan asas:
a. manfaat;
b. usaha bersama dan kekeluargaan;
c. adil dan merata;
d. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;
e. kepentingan umum;
f. keterpaduan;
g. tegaknya hukum;
h. kemandirian;
i. keterbukaan dan anti monopoli;
j. berwawasan lingkungan hidup;
k. kedaulatan negara;
l. kebangsaan; dan
m. kenusantaraan.

Pasal 3
Penerbangan diselenggarakan dengan tujuan:
c. membina jiwa kedirgantaraan;
d. menjunjung kedaulatan negara;
h. meningkatkan ketahanan nasional; dan
i. mempererat hubungan antarbangsa.

BAB III
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG

Pasal 4
Undang-Undang ini berlaku untuk:

BAB IV
KEDAULATAN ATAS WILAYAH UDARA

Pasal 5
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.

Pasal 6
Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara.

Pasal 7

Pasal 8

Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelanggaran wilayah kedaulatan, penetapan kawasan udara terlarang, kawasan udara terbatas, pelaksanaan tindakan terhadap pesawat udara dan personel pesawat udara, serta tata cara dan prosedur pelaksanaan tindakan pemaksaan oleh pesawat udara negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
PEMBINAAN

Pasal 10

Pasal 11

Pasal 12

BAB VI
RANCANG BANGUN DAN PRODUKSI PESAWAT UDARA

Bagian Kesatu
Rancang Bangun Pesawat Udara

Pasal 13

Pasal 14
Setiap orang yang melakukan kegiatan rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 harus mendapat surat persetujuan.

Pasal 15

Pasal 16

Pasal 17

Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur mendapatkan surat persetujuan rancang bangun, kegiatan rancang bangun, dan perubahan rancang bangun pesawat udara, sertifikat tipe, serta sertifikat validasi tipe diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Produksi Pesawat Udara

Pasal 19

Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat produksi pesawat udara diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 21
Proses sertifikasi pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 19 dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pelayanan umum.

Pasal 22
Proses sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dikenakan biaya.

Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB VII
PENDAFTARAN DAN KEBANGSAAN PESAWAT UDARA

Pasal 24
Setiap pesawat udara yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran.

Pasal 25
Pesawat udara sipil yang dapat didaftarkan di Indonesia harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. tidak terdaftar di negara lain; dan

Pasal 26


Pasal 27

Pasal 28

Pasal 29
Pesawat udara yang telah memiliki tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dapat dihapus tanda pendaftarannya apabila:

Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pendaftaran dan penghapusan tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan Indonesia serta pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 31
Proses sertifikasi pendaftaran pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan penghapusan tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pelayanan umum.

Pasal 32
Proses sertifikasi pendaftaran pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dikenakan biaya.

Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB VIII
KELAIKUDARAAN DAN PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA

Bagian Kesatu
Kelaikudaraan Pesawat Udara

Pasal 34

Pasal 35
Sertifikat Kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) terdiri atas:
a. sertifikat kelaikudaraan standar; dan
b. sertifikat kelaikudaraan khusus.

Pasal 36
Sertifikat kelaikudaraan standar diberikan untuk pesawat terbang kategori transpor, normal, kegunaan (utility), aerobatik, komuter, helikopter kategori normal dan transpor, serta kapal udara dan balon berpenumpang.

Pasal 37

Pasal 38
Sertifikat kelaikudaraan khusus diberikan untuk pesawat udara yang penggunaannya khusus secara terbatas (restricted), percobaan (experimental), dan kegiatan penerbangan yang bersifat khusus.

Pasal 39
Setiap orang yang melanggar ketentuan standar kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan sertifikat; dan/atau
c. pencabutan sertifikat.

Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Operasi Pesawat Udara

Pasal 41
(2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

Pasal 42
Untuk mendapatkan sertifikat operator pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a operator harus:
a. memiliki izin usaha angkutan udara niaga;
e. memiliki personel manajemen yang kompeten dengan jumlah memadai;
f. memiliki dan/atau menguasai fasilitas pengoperasian pesawat udara;
g. memiliki dan/atau menguasai persediaan suku cadang yang memadai;
j. memiliki standar perawatan pesawat udara;

Pasal 43
Untuk memperoleh sertifikat pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf b, operator harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki izin kegiatan angkutan udara bukan niaga;
d. memiliki standar pengoperasian pesawat udara; dan
e. memiliki standar perawatan pesawat udara.

Pasal 44
Setiap orang yang melanggar ketentuan sertifikat operasi pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan sertifikat; dan/atau
c. pencabutan sertifikat.

Pasal 45
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat operator pesawat udara atau sertifikat pengoperasian pesawat udara dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Perawatan Pesawat Udara

Pasal 46

Pasal 47

Pasal 48
Untuk mendapatkan sertifikat organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan:
c. memiliki pedoman perawatan dan pemeriksaaan;
d.memiliki pedoman perawatan dan pemeriksaan (maintenance manuals)terkini yang dikeluarkan oleh pabrikan sesuai dengan jenis pesawat udara yang dioperasikan;
g. memiliki pedoman sistem manajemen keselamatan.

Pasal 49
Sertifikat organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf b dapat diberikan kepada organisasi perawatan pesawat udara di luar negeri yang memenuhi persyaratan setelah memiliki sertifikat organisasi perawatan pesawat udara yang diterbitkan oleh otoritas penerbangan negara yang bersangkutan.

Pasal 50
Setiap orang yang melanggar ketentuan perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. pembekuan sertifikat; dan/atau
b. pencabutan sertifikat.

Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, prosedur, dan pemberian sertifikat organisasi perawatan pesawat udara dan lisensi ahli perawatan pesawat udara dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat
Keselamatan dan Keamanan dalam Pesawat Udara
Selama Penerbangan

Pasal 52

Pasal 53

Pasal 54
Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan dilarang melakukan:
a. perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan;
b. pelanggaran tata tertib dalam penerbangan;
d. perbuatan asusila;
e. perbuatan yang mengganggu ketenteraman; atau
f. pengoperasian peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan.

Pasal 55
Selama terbang, kapten penerbang pesawat udara yang bersangkutan mempunyai wewenang mengambil tindakan untuk menjamin keselamatan, ketertiban, dan keamanan penerbangan.

Pasal 56

Pasal 57
Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan dalam pesawat udara, kewenangan kapten penerbang selama penerbangan, dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima
Personel Pesawat Udara

Pasal 58

Pasal 59
(1) Personel pesawat udara yang telah memiliki lisensi wajib:

Pasal 60
Lisensi personel pesawat udara yang diberikan oleh negara lain dapat diakui melalui proses pengesahan oleh Menteri.

Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, atau sertifikat kompetensi dan lembaga pendidikan dan/atau pelatihan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam
Asuransi dalam Pengoperasian Pesawat Udara

Pasal 62
(1) Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara wajib mengasuransikan:

Bagian Ketujuh
Pengoperasian Pesawat Udara

Pasal 63

Pasal 64
Proses sertifikasi kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), sertifikasi operator pesawat udara dan sertifikasi pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2), sertifikasi organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, sertifikasi organisasi perawatan pesawat udara di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, dan lisensi personel pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pelayanan umum.

Pasal 65
Proses sertifikasi dan lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dikenakan biaya.

Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan
Pesawat Udara Negara

Pasal 67

Pasal 68
Dalam keadaan tertentu pesawat udara negara dapat dipergunakan untuk keperluan angkutan udara sipil dan sebaliknya.

Pasal 69
Penggunaan pesawat udara negara asing untuk kegiatan angkutan udara dari dan ke atau melalui wilayah Republik Indonesia hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin Pemerintah.

Pasal 70
Ketentuan lebih lanjut mengenai pesawat udara negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
KEPENTINGAN INTERNASIONAL
ATAS OBJEK PESAWAT UDARA

Pasal 71
Objek pesawat udara dapat dibebani dengan kepentingan internasional yang timbul akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat, dan/atau perjanjian sewa guna usaha.

Pasal 72
Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dapat dibuat berdasarkan hukum yang dipilih oleh para pihak pada perjanjian tersebut.

Pasal 73
Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 tunduk pada hukum Indonesia, perjanjian tersebut harus dibuat dalam akta otentik yang paling sedikit memuat:
a. identitas para pihak;
b. identitas dari objek pesawat udara; dan
c. hak dan kewajiban para pihak.

Pasal 74

Pasal 75

Pasal 76
Kementerian yang membidangi urusan penerbangan dan instansi pemerintah lainnya harus membantu dan memperlancar pelaksanaan upaya pemulihan yang dilakukan oleh kreditur berdasarkan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71.

Pasal 77
Hak-hak kreditur dan upaya pemulihan timbul pada saat ditandatanganinya perjanjian oleh para pihak.

Pasal 78
Kepentingan internasional, termasuk setiap pengalihan dan/atau subordinasi dari kepentingan tersebut, memperoleh prioritas pada saat kepentingan tersebut didaftarkan pada kantor pendaftaran internasional.

Pasal 79

Pasal 80
Pengadilan, kurator, pengurus kepailitan, dan/atau debitur harus menyerahkan penguasaan objek pesawat udara kepada kreditur yang berhak dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 81
Tagihan-tagihan tertentu memiliki prioritas terhadap tagihan dari pemegang kepentingan internasional yang terdaftar atas objek pesawat udara.

Pasal 82
Ketentuan dalam konvensi internasional mengenai kepentingan internasional dalam peralatan bergerak dan protokol mengenai masalah-masalah khusus pada peralatan pesawat udara, di mana Indonesia merupakan pihak mempunyai kekuatan hukum di Indonesia dan merupakan ketentuan hukum khusus (lex specialis).

BAB X
ANGKUTAN UDARA

Bagian Kesatu
Jenis Angkutan Udara

Paragraf 1
Angkutan Udara Niaga

Pasal 83
(1) Kegiatan angkutan udara terdiri atas:

Pasal 84
Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga.

Pasal 85

Pasal 86

Pasal 87

Pasal 88

Pasal 89

Pasal 90

Pasal 91

Pasal 92
Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal dapat berupa:
d. taksi udara (air taxi); atau
e. kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal lainnya.

Pasal 93

Pasal 94

Pasal 95

Pasal 96
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga, kerja sama angkutan udara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 2
Pelayanan Angkutan Udara Niaga Berjadwal

Pasal 97

Pasal 98

Pasal 99

Pasal 100
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 3
Angkutan Udara Bukan Niaga

Pasal 101
(2) Kegiatan angkutan udara bukan niaga berupa:

Pasal 102

Pasal 103
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan udara bukan niaga, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 4
Angkutan Udara Perintis

Pasal 104
(4) Angkutan udara perintis dievaluasi oleh Pemerintah setiap tahun.

Pasal 105
Dalam keadaan tertentu angkutan udara perintis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dapat dilakukan oleh pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga.

Pasal 106
(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

Pasal 107
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara perintis diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Perizinan Angkutan Udara

Paragraf 1
Perizinan Angkutan Udara Niaga

Pasal 108

Pasal 109

Pasal 110

Pasal 111

Pasal 112
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi setiap tahun.

Pasal 113

Pasal 114
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin usaha angkutan udara niaga dan pengangkatan direksi perusahaan angkutan udara niaga diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 2
Perizinan Angkutan Udara Bukan Niaga

Pasal 115

Pasal 116
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi setiap tahun.

Pasal 117
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin kegiatan angkutan udara bukan niaga diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 3
Kewajiban Pemegang Izin Angkutan Udara

Pasal 118
(1) Pemegang izin usaha angkutan udara niaga wajib:

Pasal 119

Pasal 120
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang izin angkutan udara, persyaratan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 121

Bagian Ketiga
Jaringan dan Rute Penerbangan

Pasal 122

Pasal 123

Pasal 124

Pasal 125
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan serta pemanfaatan jaringan dan rute penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat
T a r i f

Pasal 126

Pasal 127

Pasal 128

Pasal 129
Tarif penumpang angkutan udara niaga dan angkutan kargo berjadwal luar negeri ditetapkan dengan berpedoman pada hasil perjanjian angkutan udara bilateral atau multilateral.

Pasal 130
Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara perintis serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima
Kegiatan Usaha Penunjang Angkutan Udara

Pasal 131

Pasal 132
Untuk mendapatkan izin usaha penunjang angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) wajib memenuhi persyaratan memiliki:
b. nomor pokok wajib pajak (NPWP);
c. surat keterangan domisili yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang;
e. tanda bukti modal yang disetor;
f. garansi/jaminan bank; serta
g. kelayakan teknis dan operasi.

Pasal 133
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur pemberian izin kegiatan usaha penunjang angkutan udara diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam
Pengangkutan untuk Penyandang Cacat, Lanjut Usia,
Anak–Anak, dan/atau Orang Sakit

Pasal 134

Pasal 135
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh
Pengangkutan Barang Khusus dan Berbahaya

Pasal 136

Pasal 137
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 138

Pasal 139
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara prosedur pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan
Tanggung Jawab Pengangkut

Paragraf 1
Wajib Angkut

Pasal 140

Paragraf 2
Tanggung Jawab Pengangkut terhadap
Penumpang dan/atau Pengirim Kargo

Pasal 141

Pasal 142

Pasal 143
Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya.

Pasal 144
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.

Pasal 145
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut.

Pasal 146
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.

Pasal 147 a


Pasal 148
Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 sampai dengan Pasal 147 tidak berlaku untuk:
a. angkutan pos;
c. angkutan udara bukan niaga.

Pasal 149
Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu keterlambatan angkutan udara diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 3
Dokumen Angkutan Penumpang, Bagasi, dan Kargo

Pasal 150
Dokumen angkutan udara terdiri atas:
a. tiket penumpang pesawat udara;
b. pas masuk pesawat udara (boarding pass);
c. tanda pengenal bagasi (baggage identification/claim tag); dan
d. surat muatan udara (airway bill).

Pasal 151

Pasal 152

Pasal 153

Pasal 154
Tiket penumpang dan tanda pengenal bagasi dapat disatukan dalam satu dokumen angkutan udara.

Pasal 155

Pasal 156

Pasal 157
Surat muatan udara tidak dapat diperjualbelikan atau dijadikan jaminan kepada orang lain dan/atau pihak lain.

Pasal 158
Pengangkut wajib memberi prioritas pengiriman dokumen penting yang bersifat segera serta kargo yang memuat barang mudah rusak dan/atau cepat busuk (perishable goods).

Pasal 159
Dalam hal pengirim kargo menyatakan secara tertulis harga kargo yang sebenarnya, pengangkut dan pengirim kargo dapat membuat kesepakatan khusus untuk kargo yang memuat barang mudah rusak dan/atau cepat busuk dengan mengecualikan besaran kompensasi tanggung jawab yang diatur dalam undang-undang ini.

Pasal 160
Pengangkut dan pengirim kargo dapat menyepakati syarat-syarat khusus untuk angkutan kargo:

Pasal 161
(1) Pengirim bertanggung jawab atas kebenaran surat muatan udara.

Pasal 162

Pasal 163
Dalam hal kargo belum diserahkan kepada penerima, pengirim dapat meminta kepada pengangkut untuk menyerahkan kargo tersebut kepada penerima lain atau mengirimkan kembali kepada pengirim, dan semuanya atas biaya dan tanggung jawab pengirim.

Pasal 164

Paragraf 4
Besaran Ganti Kerugian

Pasal 165

Pasal 166
Pengangkut dan penumpang dapat membuat persetujuan khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih tinggi dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (1).

Pasal 167
Jumlah ganti kerugian untuk bagasi kabin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ditetapkan setinggi-tingginya sebesar kerugian nyata penumpang.

Pasal 168

Pasal 169
Pengangkut dan penumpang dapat membuat persetujuan khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih tinggi dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1).

Pasal 170
Jumlah ganti kerugian untuk setiap keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 171
Dalam hal orang yang dipekerjakan atau mitra usaha yang bertindak atas nama pengangkut digugat untuk membayar ganti kerugian untuk kerugian yang timbul karena tindakan yang dilakukan di luar batas kewenangannya, menjadi tanggung jawab yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 172
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:

Paragraf 5
Pihak yang Berhak Menerima Ganti Kerugian

Pasal 173

Paragraf 6
Jangka Waktu Pengajuan Klaim

Pasal 174

Pasal 175

Paragraf 7
Hal Gugatan

Pasal 176
Penumpang, pemilik bagasi kabin, pemilik bagasi tercatat, pengirim kargo, dan/atau ahli waris penumpang, yang menderita kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 173 dapat mengajukan gugatan terhadap pengangkut di pengadilan negeri di wilayah Indonesia dengan menggunakan hukum Indonesia.

Pasal 177
Hak untuk menggugat kerugian yang diderita penumpang atau pengirim kepada pengangkut dinyatakan kedaluwarsa dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung mulai tanggal seharusnya kargo dan bagasi tersebut tiba di tempat tujuan.

Paragraf 8
Pernyataan Kemungkinan Meninggal Dunia
bagi Penumpang Pesawat Udara yang Hilang

Pasal 178

Paragraf 9
Wajib Asuransi

Pasal 179
Pengangkut wajib mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap penumpang dan kargo yang diangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 146.

Pasal 180
Besarnya pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 sekurang-kurangnya harus sama dengan jumlah ganti kerugian yang ditentukan dalam Pasal 165, Pasal 168, dan Pasal 170.

Paragraf 10
Tanggung Jawab pada Angkutan Udara
oleh Beberapa Pengangkut Berturut – turut

Pasal 181

Paragraf 11
Tanggung Jawab pada Angkutan Intermoda

Pasal 182

Paragraf 12
Tanggung Jawab Pengangkut Lain

Pasal 183
Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144 Pasal 145, dan Pasal 146 berlaku juga bagi angkutan udara yang dilaksanakan oleh pihak pengangkut lain yang mengadakan perjanjian pengangkutan selain pengangkut.

Paragraf 13
Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Pihak Ketiga

Pasal 184

Pasal 185
Pengangkut dapat menuntut pihak ketiga yang mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap penumpang, pengirim, atau penerima kargo yang menjadi tanggung jawab pengangkut.

Paragraf 14
Persyaratan Khusus

Pasal 186

Bagian Kesembilan
Angkutan Multimoda

Pasal 187

Pasal 188
Angkutan multimoda dilakukan oleh badan usaha yang telah mendapat izin untuk melakukan angkutan multimoda dari Menteri.

Pasal 189

Pasal 190
Badan usaha angkutan multimoda wajib mengasuransikan tanggung jawabnya.

Pasal 191
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI
KEBANDARUDARAAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 192
Bandar udara terdiri atas:
a. bandar udara umum, yang selanjutnya disebut bandar udara; dan
b. bandar udara khusus.

Bagian Kedua
Tatanan Kebandarudaraan Nasional

Pasal 193

Pasal 194
Bandar udara memiliki peran sebagai:
a. simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hierarkinya;
b. pintu gerbang kegiatan perekonomian;
c. tempat kegiatan alih moda transportasi;
d. pendorong dan penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan;
f. prasarana memperkukuh Wawasan Nusantara dan kedaulatan negara.

Pasal 195
Bandar udara berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan:
a. pemerintahan; dan/atau
b. pengusahaan.

Pasal 196
Penggunaan bandar udara terdiri atas bandar udara internasional dan bandar udara domestik.

Pasal 197

Pasal 198
Klasifikasi bandar udara terdiri atas beberapa kelas bandar udara yang ditetapkan berdasarkan kapasitas pelayanan dan kegiatan operasional bandar udara.

Pasal 199
(3) Rencana induk nasional bandar udara memuat:

Pasal 200

Bagian Ketiga
Penetapan Lokasi Bandar Udara

Pasal 201
(1) Lokasi bandar udara ditetapkan oleh Menteri.
(2) Penetapan lokasi bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

Pasal 202
Rencana induk bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (2) huruf b paling sedikit memuat:
a. prakiraan permintaan kebutuhan pelayanan penumpang dan kargo;
b. kebutuhan fasilitas;
c. tata letak fasilitas;
d. tahapan pelaksanaan pembangunan;
e. kebutuhan dan pemanfaatan lahan;
f. daerah lingkungan kerja;
g. daerah lingkungan kepentingan;
h. kawasan keselamatan operasi penerbangan; dan
i. batas kawasan kebisingan.

Pasal 203

Pasal 204

Pasal 205

Pasal 206
Kawasan keselamatan operasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf h terdiri atas:
a. kawasan ancangan pendaratan dan lepas landas;
b. kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan;
c. kawasan di bawah permukaan transisi;
d. kawasan di bawah permukaan horizontal-dalam;
e. kawasan di bawah permukaan kerucut; dan
f. kawasan di bawah permukaan horizontal-luar.

Pasal 207
Batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf i merupakan kawasan tertentu di sekitar bandar udara yang terpengaruh gelombang suara mesin pesawat udara yang terdiri atas:
a. kebisingan tingkat I;
b. kebisingan tingkat II; dan
c. kebisingan tingkat III.

Pasal 208

Pasal 209
Batas daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan, kawasan keselamatan operasi penerbangan, dan batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i ditetapkan dengan koordinat geografis.

Pasal 210
Setiap orang dilarang berada di daerah tertentu di bandar udara, membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan, kecuali memperoleh izin dari otoritas bandar udara.

Pasal 211

Pasal 212
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menjamin tersedianya aksesibilitas dan utilitas untuk menunjang pelayanan bandar udara.

Pasal 213
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan lokasi bandar udara dan tempat pelayanan penunjang di luar daerah lingkungan kerja diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat
Pembangunan Bandar Udara

Pasal 214
Bandar udara sebagai bangunan gedung dengan fungsi khusus, pembangunannya wajib memperhatikan ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, mutu pelayanan jasa kebandarudaraan, kelestarian lingkungan, serta keterpaduan intermoda dan multimoda.

Pasal 215

Pasal 216
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan bandar udara diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Pengoperasian Bandar Udara

Paragraf 1
Sertifikasi Operasi Bandar Udara

Pasal 217

Pasal 218
Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan, pelayanan jasa bandar udara, serta tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau register bandar udara dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 2
Fasilitas Bandar Udara

Pasal 219

Pasal 220

Pasal 221
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas bandar udara serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 3
Personel Bandar Udara

Pasal 222

Pasal 223
(1) Personel bandar udara yang telah memiliki lisensi wajib:

Pasal 224
Lisensi personel bandar udara yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh Menteri.

Pasal 225
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam
Penyelenggaraan Kegiatan di Bandar Udara

Paragraf 1
Kegiatan Pemerintahan di Bandar Udara

Pasal 226

Tidak ada komentar:

Posting Komentar