bisnis, syariah, duit, kuliah, makalah, naryanto, anto, uu, peraturan, skripsi, online, mlm, iklan

Sabtu, 04 Desember 2010

UU No 23 tahun 2007 tentang perkeretaapian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2007
TENTANG
PERKERETAAPIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah dan pemersatu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan Wawasan Nusantara, serta memperkukuh ketahanan nasional dalam usaha mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa perkeretaapian sebagai salah satu moda transportasi dalam sistem transportasi nasional yang mempunyai karakteristik pengangkutan secara massal dan keunggulan tersendiri, yang tidak dapat dipisahkan dari moda transportasi lain, perlu dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah, baik nasional maupun internasional, untuk menunjang, mendorong, dan menggerakkan pembangunan nasional guna meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3479) tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, perkembangan zaman, serta ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-Undang tentang Perkeretaapian;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKERETAAPIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perkeretaapian adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas prasarana, sarana, dan sumber daya manusia, serta norma, kriteria, persyaratan, dan prosedur untuk penyelenggaraan transportasi kereta api.
2. Kereta api adalah sarana perkeretaapian dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan sarana perkeretaapian lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di jalan rel yang terkait dengan perjalanan kereta api.
3. Prasarana perkeretaapian adalah jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api agar kereta api dapat dioperasikan.
4. Jalur kereta api adalah jalur yang terdiri atas rangkaian petak jalan rel yang meliputi ruang manfaat jalur kereta api, ruang milik jalur kereta api, dan ruang pengawasan jalur kereta api, termasuk bagian atas dan bawahnya yang diperuntukkan bagi lalu lintas kereta api.
5. Jaringan jalur kereta api adalah seluruh jalur kereta api yang terkait satu dengan yang lain yang menghubungkan berbagai tempat sehingga merupakan satu sistem.
6. Jalur kereta api khusus adalah jalur kereta api yang digunakan secara khusus oleh badan usaha tertentu untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha tersebut.
7. Jalan rel adalah satu kesatuan konstruksi yang terbuat dari baja, beton, atau konstruksi lain yang terletak di permukaan, di bawah, dan di atas tanah atau bergantung beserta perangkatnya yang mengarahkan jalannya kereta api.
8. Fasilitas operasi kereta api adalah segala fasilitas yang diperlukan agar kereta api dapat dioperasikan.
9. Sarana perkeretaapian adalah kendaraan yang dapat bergerak di jalan rel.
10. Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau badan hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk perkeretaapian.
11. Fasilitas penunjang kereta api adalah segala sesuatu yang melengkapi penyelenggaraan angkutan kereta api yang dapat memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keselamatan bagi pengguna jasa kereta api.
12. Pengguna jasa adalah setiap orang dan/atau badan hukum yang menggunakan jasa angkutan kereta api, baik untuk angkutan orang maupun barang.
13. Lalu lintas kereta api adalah gerak sarana perkeretaapian di jalan rel.
14. Angkutan kereta api adalah kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kereta api.
15. Awak Sarana Perkeretaapian adalah orang yang ditugaskan di dalam kereta api oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian selama perjalanan kereta api.
16. Penyelenggara prasarana perkeretaapian adalah pihak yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian.
17. Penyelenggara sarana perkeretaapian adalah badan usaha yang mengusahakan sarana perkeretaapian umum.
18. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
19. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
20. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
21. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkeretaapian.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Perkeretaapian sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem transportasi nasional diselenggarakan berdasarkan:
a. asas manfaat;
b. asas keadilan;
c. asas keseimbangan;
d. asas kepentingan umum;
e. asas keterpaduan;
f. asas kemandirian;
g. asas transparansi;
h. asas akuntabilitas; dan
i. asas berkelanjutan.
Pasal 3
Perkeretaapian diselenggarakan dengan tujuan untuk memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman, nyaman, cepat dan lancar, tepat, tertib dan teratur, efisien, serta menunjang pemerataan, pertumbuhan, stabilitas, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional.
BAB III
TATANAN PERKERETAAPIAN
Pasal 4
Kereta api menurut jenisnya terdiri atas:
a. kereta api kecepatan normal;
b. kereta api kecepatan tinggi;
c. kereta api monorel;
d. kereta api motor induksi linear;
e. kereta api gerak udara;
f. kereta api levitasi magnetik;
g. trem; dan
h. kereta gantung.
Pasal 5
(1) Perkeretaapian menurut fungsinya terdiri atas:
a. perkeretaapian umum; dan
b. perkeretaapian khusus.
(2) Perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. perkeretaapian perkotaan; dan
b. perkeretaapian antarkota.
(3) Perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya digunakan secara khusus oleh badan usaha tertentu untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha tersebut.
Pasal 6
(1) Tatanan perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:
a. perkeretaapian nasional;
b. perkeretaapian provinsi; dan
c. perkeretaapian kabupaten/kota.
(2) Tatanan perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu kesatuan sistem perkeretaapian yang disebut tatanan perkeretaapian nasional.
(3) Sistem perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terintegrasi dengan moda transportasi lainnya.
Pasal 7
(1) Untuk mewujudkan tatanan perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ditetapkan rencana induk perkeretaapian.
(2) Rencana induk perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. rencana induk perkeretaapian nasional;
b. rencana induk perkeretaapian provinsi; dan
c. rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota.
Pasal 8
(1) Rencana induk perkeretaapian nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a disusun dengan memperhatikan:
a. rencana tata ruang wilayah nasional; dan
b. rencana induk jaringan moda transportasi lainnya.
(2) Rencana induk perkeretaapian nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan angkutan perkeretaapian pada tataran transportasi nasional.
(3) Rencana induk perkeretaapian nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. arah kebijakan dan peranan perkeretaapian nasional dalam keseluruhan moda transportasi;
b. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan;
c. rencana kebutuhan prasarana perkeretaapian nasional;
d. rencana kebutuhan sarana perkeretaapian nasional; dan
e. rencana kebutuhan sumber daya manusia.
Pasal 9
(1) Rencana induk perkeretaapian provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b disusun dengan memperhatikan:
a. rencana tata ruang wilayah nasional;
b. rencana tata ruang wilayah provinsi;
c. rencana induk perkeretaapian nasional; dan
d. rencana induk jaringan moda transportasi lainnya pada tataran provinsi.
(2) Rencana induk perkeretaapian provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan angkutan perkeretaapian pada tataran transportasi provinsi.
(3) Rencana induk perkeretaapian provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat:
a. arah kebijakan dan peranan perkeretaapian provinsi dalam keseluruhan moda transportasi;
b. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan pada tataran provinsi;
c. rencana kebutuhan prasarana perkeretaapian provinsi;
d. rencana kebutuhan sarana perkeretaapian provinsi; dan
e. rencana kebutuhan sumber daya manusia.
Pasal 10
(1) Rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c disusun dengan memperhatikan:
a. rencana tata ruang wilayah nasional;
b. rencana tata ruang wilayah provinsi;
c. rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota;
d. rencana induk perkeretaapian provinsi; dan
e. rencana induk jaringan moda transportasi lainnya pada tataran kabupaten/kota.
(2) Rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan angkutan perkeretaapian pada tataran transportasi kabupaten/kota.
(3) Rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya memuat:
a. arah kebijakan dan peranan perkeretaapian kabupaten/kota dalam keseluruhan moda transportasi;
b. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan pada tataran kabupaten/kota;
c. rencana kebutuhan prasarana perkeretaapian kabupaten/kota;
d. rencana kebutuhan sarana perkeretaapian kabupaten/kota; dan
e. rencana kebutuhan sumber daya manusia.
Pasal 11
Rencana induk perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) ditetapkan oleh:
a. Pemerintah untuk rencana induk perkeretaapian nasional;
b. pemerintah provinsi untuk rencana induk perkeretaapian provinsi; dan
c. pemerintah kabupaten/kota untuk rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota.
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis kereta api dan penyusunan rencana induk perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PEMBINAAN
Pasal 13
(1) Perkeretaapian dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pembinaan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengaturan;
b. pengendalian; dan
c. pengawasan.
(3) Arah pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman, nyaman, cepat, tepat, tertib, dan teratur, serta efisien.
(4) Sasaran pembinaan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menunjang pemerataan, pertumbuhan, stabilitas, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional.
Pasal 14
(1) Pembinaan perkeretaapian nasional dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:
a. penetapan arah dan sasaran kebijakan pengembangan perkeretaapian nasional, provinsi, dan kabupaten/kota;
b. penetapan, pedoman, standar, serta prosedur penyelenggaraan dan pengembangan perkeretaapian;
c. penetapan kompetensi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang perkeretaapian;
d. pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada Pemerintah Daerah, penyelenggara dan pengguna jasa perkeretaapian; dan
e. pengawasan terhadap perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian.
(2) Pembinaan perkeretaapian provinsi dilaksanakan oleh pemerintah provinsi yang meliputi:
a. penetapan arah dan sasaran kebijakan pengembangan perkeretaapian provinsi, dan kabupaten/kota;
b. pemberian arahan, bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis kepada kabupaten/kota, penyelenggara dan pengguna jasa perkeretaapian; dan
c. pengawasan terhadap penyelenggaraan perkeretaapian provinsi.
(3) Pembinaan perkeretaapian kabupaten/kota dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota yang meliputi:
a. penetapan arah dan sasaran kebijakan pengembangan perkeretaapian kabupaten/kota;
b. pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada penyelenggara dan pengguna jasa perkeretaapian; dan
c. pengawasan terhadap penyelenggaraan perkeretaapian kabupaten/kota.
Pasal 15
Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus mengintegrasikan perkeretaapian dengan moda transportasi lainnya.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PENYELENGGARAAN
Pasal 17
(1) Penyelenggaraan perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a berupa penyelenggaraan:
a. prasarana perkeretaapian; dan/atau
b. sarana perkeretaapian.
(2) Penyelenggaraan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b berupa penyelenggaraan:
a. prasarana perkeretaapian; dan
b. sarana perkeretapian.
Pasal 18
Penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum meliputi kegiatan :
a. pembangunan prasarana;
b. pengoperasian prasarana;
c. perawatan prasarana; dan
d. pengusahaan prasarana.
Pasal 19
Pembangunan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a wajib:
a. berpedoman pada ketentuan rencana induk perkeretaapian; dan
b. memenuhi persyaratan teknis prasarana perkeretaapian.
Pasal 20
Pengoperasian prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b wajib memenuhi standar kelaikan operasi prasarana perkeretaapian.
Pasal 21
Perawatan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c wajib:
a. memenuhi standar perawatan prasarana perkeretaapian; dan
b. dilakukan oleh tenaga yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi keahlian di bidang prasarana perkeretaapian.
Pasal 22
Pengusahaan prasarana perkeretaapian umum dilakukan berdasarkan norma, standar, dan kriteria perkeretaapian.
Pasal 23
(1) Penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilakukan oleh Badan Usaha sebagai penyelenggara, baik secara sendiri-sendiri maupun melalui kerja sama.
(2) Dalam hal tidak ada Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan prasarana perkeretaapian.
Pasal 24
(1) Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki:
a. izin usaha;
b. izin pembangunan; dan
c. izin operasi.
(2) Izin usaha penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan oleh pemerintah.
(3) Izin pembangunan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan setelah dipenuhinya persyaratan teknis prasarana perkeretaapian.
(4) Izin operasi prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diterbitkan setelah dipenuhinya persyaratan kelaikan operasi prasarana perkeretaapian.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diberikan oleh :
a. Pemerintah untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi;
b. pemerintah provinsi untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah; dan
c. pemerintah kabupaten/kota untuk penyelenggaraan perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi pemerintah provinsi dan persetujuan Pemerintah.
Pasal 25
Penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b meliputi kegiatan:
a. pengadaan sarana;
b. pengoperasian sarana;
c. perawatan sarana; dan
d. pengusahaan sarana.
Pasal 26
Pengadaan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a harus memenuhi persyaratan teknis sarana perkeretaapian.
Pasal 27
Pengoperasian sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b wajib memenuhi standar kelaikan operasi sarana perkeretaapian.
Pasal 28
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan sarana perkeretaapian tidak memenuhi standar kelaikan operasi sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan izin, dan pencabutan izin operasi.
Pasal 29
Perawatan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c wajib:
a.memenuhi standar perawatan sarana perkeretaapian; dan
b.dilakukan oleh tenaga yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi keahlian di bidang sarana perkeretaapian.
Pasal 30
Pengusahaan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf d dilakukan berdasarkan norma, standar, dan kriteria sarana perkeretaapian.
Pasal 31
(1) Penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan oleh Badan Usaha sebagai penyelenggara, baik secara sendiri-sendiri maupun melalui kerja sama.
(2) Dalam hal tidak ada badan usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan sarana perkeretaapian.
Pasal 32
(1) Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 wajib memiliki:
a. izin usaha; dan
b. izin operasi.
(2) Izin usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan oleh Pemerintah.
(3) Izin operasi sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan oleh:
a. Pemerintah untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi dan batas wilayah negara;
b. pemerintah provinsi untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan
c. pemerintah kabupaten/kota untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota.
Pasal 33
(1) Penyelenggaraan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dilakukan oleh badan usaha untuk menunjang kegiatan pokoknya.
(2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki:
a. izin pengadaan atau pembangunan; dan
b. izin operasi.
(3) Perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan teknis prasarana dan sarana perkeretaapian.
(4) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh :
a. Pemerintah untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi dan batas wilayah negara;
b. pemerintah provinsi untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah; dan
c. pemerintah kabupaten/kota untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi pemerintah provinsi dan persetujuan Pemerintah.
Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan perkeretaapian umum dan penyelenggaraan perkeretaapian khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PRASARANA PERKERETAAPIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 35
(1) Prasarana perkeretaapian umum dan perkeretaapian khusus meliputi :
a. jalur kereta api;
b. stasiun kereta api; dan
c. fasilitas operasi kereta api.
(2) Jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperuntukkan bagi pengoperasian kereta api.
(3) Stasiun kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berfungsi sebagai tempat kereta api berangkat atau berhenti untuk melayani:
a. naik turun penumpang;
b. bongkar muat barang; dan/atau
c. keperluan operasi kereta api.
(4) Fasilitas operasi kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan peralatan untuk pengoperasian perjalanan kereta api.
Bagian Kedua
Jalur Kereta Api
Pasal 36
Jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf a meliputi:
a. ruang manfaat jalur kereta api;
b. ruang milik jalur kereta api; dan
c. ruang pengawasan jalur kereta api.
Pasal 37
(1) Ruang manfaat jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a terdiri atas jalan rel dan bidang tanah di kiri dan kanan jalan rel beserta ruang di kiri, kanan, atas, dan bawah yang digunakan untuk konstruksi jalan rel dan penempatan fasilitas operasi kereta api serta bangunan pelengkap lainnya.
(2) Jalan rel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berada:
a. pada permukaan tanah;
b. di bawah permukaan tanah; dan
c. di atas permukaan tanah.
Pasal 38
Ruang manfaat jalur kereta api diperuntukkan bagi pengoperasian kereta api dan merupakan daerah yang tertutup untuk umum.
Pasal 39
(1) Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel pada permukaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf a diukur dari sisi terluar jalan rel beserta bidang tanah di kiri dan kanannya yang digunakan untuk konstruksi jalan rel termasuk bidang tanah untuk penempatan fasilitas operasi kereta api dan bangunan pelengkap lainnya.
(2) Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel pada permukaan tanah yang masuk terowongan diukur dari sisi terluar konstruksi terowongan.
(3) Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel pada permukaan tanah yang berada di jembatan diukur dari sisi terluar konstruksi jembatan.
Pasal 40
Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel di bawah permukaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf b diukur dari sisi terluar konstruksi bangunan jalan rel di bawah permukaan tanah termasuk fasilitas operasi kereta api.
Pasal 41
Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel di atas permukaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf c diukur dari sisi terluar dari konstruksi jalan rel atau sisi terluar yang digunakan untuk fasilitas operasi kereta api.
Pasal 42
(1) Ruang milik jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b adalah bidang tanah di kiri dan di kanan ruang manfaat jalur kereta api yang digunakan untuk pengamanan konstruksi jalan rel.
(2) Ruang milik jalur kereta api di luar ruang manfaat jalur kereta api dapat digunakan untuk keperluan lain atas izin dari pemilik jalur dengan ketentuan tidak membahayakan konstruksi jalan rel dan fasilitas operasi kereta api.
Pasal 43
(1) Batas ruang milik jalur kereta api untuk jalan rel yang terletak pada permukaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf a diukur dari batas paling luar sisi kiri dan kanan ruang manfaat jalur kereta api.
(2) Batas ruang milik jalur kereta api untuk jalan rel yang terletak di bawah permukaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf b diukur dari batas paling luar sisi kiri dan kanan serta bagian bawah dan atas ruang manfaat jalur kereta api.
(3) Batas ruang milik jalur kereta api untuk jalan rel yang terletak di atas permukaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf c diukur dari batas paling luar sisi kiri dan kanan ruang manfaat jalur kereta api.
Pasal 44
Ruang pengawasan jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf c adalah bidang tanah atau bidang lain di kiri dan di kanan ruang milik jalur kereta api untuk pengamanan dan kelancaran operasi kereta api.
Pasal 45
Batas ruang pengawasan jalur kereta api untuk jalan rel yang terletak pada permukaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf a diukur dari batas paling luar sisi kiri dan kanan daerah milik jalan kereta api.
Pasal 46
(1) Tanah yang terletak di ruang milik jalur kereta api dan ruang manfaat jalur kereta api disertifikatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Tanah di ruang pengawasan jalur kereta api dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lain dengan ketentuan tidak membahayakan operasi kereta api.
Pasal 47
Penyelenggara prasarana perkeretaapian harus memasang tanda batas daerah manfaat jalur kereta api.
Pasal 48
(1) Untuk keperluan pengoperasian dan perawatan, jalur kereta api umum dikelompokkan dalam beberapa kelas.
(2) Pengelompokan kelas jalur kereta api umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:
a. kecepatan maksimum yang diizinkan;
b. beban gandar maksimum yang diizinkan; dan
c. frekuensi lalu lintas kereta api.
Pasal 49
(1) Jalur kereta api untuk perkeretaapian umum membentuk satu kesatuan jaringan jalur kereta api.
(2) Jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. jaringan jalur kereta api nasional yang ditetapkan dalam rencana induk perkeretaapian nasional;
b. jaringan jalur kereta api propinsi yang ditetapkan dalam rencana induk perkeretaapian propinsi; dan
c. jaringan jalur kereta api kabupaten/kota yang ditetapkan dalam rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota.
Pasal 50
(1) Jalur kereta api umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 yang diselenggarakan oleh beberapa penyelenggara prasarana perkeretaapian dapat saling bersambungan, bersinggungan, atau terpisah.
(2) Pembangunan dan pengoperasian jalur kereta api yang bersambungan atau bersinggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan atas dasar kerja sama antarpenyelenggara prasarana perkeretaapian.
(3) Dalam hal penyelenggaraan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dioperasikan oleh pihak lain, penyelenggaraannya harus dilakukan atas dasar kerja sama antara penyelenggara prasarana dan pihak lain tersebut.
(4) Satu jalur kereta api untuk perkeretaapian umum dapat digunakan oleh beberapa penyelenggara sarana perkeretaapian.
Pasal 51
(1) Jalur kereta api khusus yang jaringannya melebihi satu provinsi ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Jalur kereta api khusus yang jaringannya melebihi 1 (satu) wilayah kabupaten/kota dalam provinsi ditetapkan oleh pemerintah provinsi.
(3) Jalur kereta api khusus yang jaringannya dalam wilayah kabupaten/kota ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/ kota.
Pasal 52
(1) Jalur kereta api khusus dapat disambungkan pada jaringan jalur kereta api umum.
(2) Jalur kereta api khusus dapat disambungkan pada jaringan jalur kereta api khusus lainnya.
(3) Penyambungan jalur kereta api khusus pada jaringan jalur kereta api umum dan jalur kereta api khusus dengan jaringan jalur kereta api khusus lainnya harus mendapat izin dari pemerintah sesuai dengan tingkat kewenangannya.
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai jalur kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Stasiun Kereta Api
Pasal 54
(1) Stasiun kereta api untuk keperluan naik turun penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf a sekurang-kurangnya dilengkapi dengan fasilitas:
a. keselamatan;
b. keamanan;
c. kenyamanan;
d. naik turun penumpang;
e. penyandang cacat;
f. kesehatan; dan
g. fasilitas umum.
(2) Stasiun kereta api untuk keperluan bongkar muat barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf b dilengkapi dengan fasilitas:
a. keselamatan;
b. keamanan;
c. bongkar muat barang; dan
d. fasilitas umum.
(3) Untuk kepentingan bongkar muat barang di luar stasiun dapat dibangun jalan rel yang menghubungkan antara stasiun dan tempat bongkar muat barang.
(4) Stasiun kereta api untuk keperluan pengoperasian kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf c harus dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan kepentingan pengoperasian kereta api.
Pasal 55
Di stasiun kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) dapat dilakukan kegiatan usaha penunjang angkutan kereta api dengan syarat tidak mengganggu fungsi stasiun.
Pasal 56
(1) Stasiun kereta api dikelompokkan dalam:
a. kelas besar;
b. kelas sedang; dan
c. kelas kecil.
(2) Pengelompokan kelas stasiun kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan kriteria:
a. fasilitas operasi;
b. frekuensi lalu lintas;
c. jumlah penumpang;
d. jumlah barang;
e. jumlah jalur; dan
f. fasilitas penunjang.
Pasal 57
(1) Stasiun kereta api dapat menyediakan jasa pelayanan khusus.
(2) Jasa pelayanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. ruang tunggu penumpang;
b. bongkar muat barang;
c. pergudangan;
d. parkir kendaraan; dan/atau
e. penitipan barang.
(3) Pengguna jasa pelayanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai tarif jasa pelayanan tambahan.
Pasal 58
Ketentuan lebih lanjut mengenai stasiun kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Fasilitas Pengoperasian Kereta Api
Pasal 59
Fasilitas pengoperasian kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf c meliputi:
a. peralatan persinyalan;
b. peralatan telekomunikasi; dan
c. instalasi listrik.
Pasal 60
(1) Peralatan persinyalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf a berfungsi sebagai:
a. petunjuk; dan
b. pengendali.
(2) Peralatan persinyalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. sinyal;
b. tanda; dan
c. marka.
Pasal 61
Peralatan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf b berfungsi sebagai penyampai informasi dan/atau komunikasi bagi kepentingan operasi perkeretaapian.
Pasal 62
(1) Peralatan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 menggunakan frekuensi radio dan/atau kabel.
(2) Penggunaan frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang telekomunikasi.
Pasal 63
(1) Instalasi listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf c terdiri atas:
a. catu daya listrik; dan
b. peralatan transmisi tenaga listrik.
(2) Instalasi listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:
a. menggerakkan kereta api bertenaga listrik;
b. memfungsikan peralatan persinyalan kereta api yang bertenaga listrik;
c. memfungsikan peralatan telekomunikasi; dan
d. memfungsikan fasilitas penunjang lainnya.
(3) Instalasi listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dioperasikan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan.
Pasal 64
Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas pengoperasian kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Perawatan Prasarana Perkeretaapian
Pasal 65
(1) Penyelenggara prasarana perkeretaapian wajib merawat prasarana perkeretaapian agar tetap laik operasi.
(2) Perawatan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perawatan berkala; dan
b. perbaikan untuk mengembalikan fungsinya.
(3) Perawatan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi standar dan tata cara perawatan yang ditetapkan oleh Menteri.
(4) Perawatan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan oleh tenaga yang memenuhi syarat dan kualifikasi yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai perawatan prasarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Kelaikan Prasarana Perkeretaapian
Pasal 67
(1) Prasarana perkeretaapian yang dioperasikan wajib memenuhi persyaratan kelaikan yang berlaku bagi setiap jenis prasarana perkeretaapian.
(2) Persyaratan kelaikan prasarana perkeretaapian meliputi:
a. persyaratan teknis; dan
b. persyaratan operasional.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi persyaratan sistem dan persyaratan komponen.
(4) Persyaratan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah persyaratan kemampuan prasarana perkeretaapian sesuai dengan rencana operasi perkeretaapian.
Pasal 68
(1) Untuk menjamin kelaikan prasarana perkeretaapian, wajib dilakukan pengujian dan pemeriksaan.
(2) Pengujian prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(3) Pemeriksaan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian.
Pasal 69
Pengujian prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) terdiri atas:
a. uji pertama; dan
b. uji berkala.
Pasal 70
(1) Uji pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a wajib dilakukan untuk prasarana perkeretaapian baru dan prasarana perkeretaapian yang mengalami perubahan spesifikasi teknis.
(2) Uji pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a dilakukan terhadap:
a. rancang bangun prasarana perkeretaapian; dan
b. fungsi prasarana perkeretaapian.
(3) Uji pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(4) Prasarana perkeretaapian yang mengalami perubahan spesifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dari Menteri.
Pasal 71
(1) Prasarana perkeretaapian yang lulus uji pertama diberi sertifikat uji pertama oleh:
a. Pemerintah;
b. badan hukum yang mendapat akreditasi dari Pemerintah; atau
c. lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(2) Sertifikat uji pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk selamanya, kecuali mengalami perubahan spesifikasi teknis.
Pasal 72
(1) Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf b wajib dilakukan untuk prasarana perkeretaapian yang telah dioperasikan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.
(2) Uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap fungsi prasarana perkeretaapian.
(3) Uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
Pasal 73
(1) Prasarana perkeretaapian yang lulus uji berkala diberi sertifikat uji berkala oleh:
a. Pemerintah;
b. badan hukum yang mendapat akreditasi dari Pemerintah; atau
c. lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(2) Sertifikat uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sesuai dengan jadwal uji berkala yang ditetapkan untuk setiap jenis prasarana perkeretaapian.
Pasal 74
(1) Pemerintah, badan hukum, atau lembaga yang melaksanakan uji pertama dan uji berkala prasarana perkeretaapian wajib memiliki tenaga penguji.
(2) Tenaga penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki kualifikasi keahlian yang dibuktikan dengan sertifikat keahlian.
(3) Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh setelah lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan.
(4) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselenggarakan oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
Pasal 75
Pelaksanaan pengujian prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 wajib menggunakan peralatan pengujian dan sesuai dengan tata cara pengujian yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 76
Setiap badan hukum atau lembaga pengujian prasarana perkeretaapian yang melakukan pengujian wajib menggunakan tenaga penguji yang memiliki sertifikat keahlian, menggunakan peralatan pengujian, dan melakukan pengujian sesuai dengan tata cara pengujian prasarana perkeretaapian yang ditetapkan.
Pasal 77
Setiap badan hukum atau lembaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan izin, atau pencabutan izin operasi.
Pasal 78
Setiap tenaga penguji prasarana perkeretaapian wajib melakukan pengujian prasarana perkeretaapian dengan menggunakan peralatan pengujian dan sesuai dengan tata cara pengujian yang ditetapkan.
Pasal 79
Tenaga penguji prasarana perkeretaapian yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan sertifikat keahlian, atau pencabutan sertifikat keahlian.
Pasal 80
(1) Pengoperasian prasarana perkeretaapian wajib dilakukan oleh petugas yang telah memenuhi syarat dan kualifikasi kecakapan yang dibuktikan dengan sertifikat kecakapan.
(2) Sertifikat kecakapan pengoperasian prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan.
(3) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan usaha atau lembaga lain yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(4) Sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh:
a. Pemerintah;
b. badan hukum yang mendapat akreditasi dari Pemerintah; atau
c. lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
Pasal 81
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian wajib menempatkan tanda larangan di jalur kereta api secara lengkap dan jelas.
Pasal 82
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis atau pembekuan izin atau pencabutan izin operasi.
Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelaikan prasarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Prasarana Perkeretaapian
Pasal 84
(1) Pengadaan tanah untuk pembangunan prasarana perkeretaapian umum dilaksanakan berdasarkan rencana induk perkeretaapian.
(2) Pembangunan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disosialisasikan kepada masyarakat, baik pada tahap perencanaan maupun pelaksanaannya, terutama yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan prasarana perkeretaapian.
(3) Pemegang hak atas tanah, pemakai tanah negara, atau masyarakat hukum adat, yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan prasarana perkeretaapian, berhak mendapat ganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
(4) Pemberian ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan berdasarkan kesepakatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Pasal 85
(1) Apabila kesepakatan tidak tercapai dan lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan, dilakukan pencabutan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
(2) Pelaksanaan pembangunan prasarana perkeretaapian dapat dimulai pada bidang tanah yang telah diberi ganti kerugian atau telah dicabut hak atas tanahnya.
Pasal 86
Tanah yang sudah dikuasai oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau Badan Usaha dalam rangka pembangunan prasarana perkeretapian, disertifikatkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Bagian Kedelapan
Tanggung Jawab Penyelenggara Prasarana
Perkeretaapian
Pasal 87
(1) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian bertanggung jawab kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dan pihak ketiga atas kerugian sebagai akibat kecelakaan yang disebabkan kesalahan pengoperasian prasarana perkeretaapian.
(2) Tanggung jawab Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan perjanjian kerja sama antara Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
(3) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian bertanggung jawab kepada pihak ketiga atas kerugian harta benda, luka-luka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh penyelenggaraan prasarana perkeretaapian.
(4) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian bertanggung jawab terhadap Petugas Prasarana Perkeretaapian yang mengalami luka-luka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian prasarana perkeretaapian.
(5) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata dialami.
Pasal 88
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dan/atau pihak ketiga yang disebabkan oleh pengoperasian prasarana perkeretaapian apabila:
a. pihak yang berwenang menyatakan bahwa kerugian bukan disebabkan kesalahan pengoperasian prasarana perkeretaapian; dan/atau
b. terjadi keadaan memaksa.
Pasal 89
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Hak dan Wewenang Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian
Pasal 90
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian berhak dan berwenang:
a. mengatur, mengendalikan, dan mengawasi perjalanan kereta api;
b. menghentikan pengoperasian sarana perkeretaapian apabila dapat membahayakan perjalanan kereta api;
c. melakukan penertiban terhadap pengguna jasa kereta api yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pengguna jasa kereta api di stasiun;
d. mendahulukan perjalanan kereta api di perpotongan sebidang dengan jalan;
e. menerima pembayaran dari penggunaan prasarana perkeretaapian; dan
f. menerima ganti kerugian atas kerusakan prasarana perkeretaapian yang disebabkan oleh kesalahan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian atau pihak ketiga.
BAB VII
PERPOTONGAN DAN PERSINGGUNGAN
JALUR KERETA API DENGAN BANGUNAN LAIN
Pasal 91
(1) Perpotongan antara jalur kereta api dan jalan dibuat tidak sebidang.
(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan tetap menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan lalu lintas jalan.
Pasal 92
(1) Pembangunan jalan, jalur kereta api khusus, terusan, saluran air dan/atau prasarana lain yang memerlukan persambungan, dan perpotongan dan/atau persinggungan dengan jalur kereta api umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) harus dilaksanakan dengan ketentuan untuk kepentingan umum dan tidak membahayakan keselamatan perjalanan kereta api.
(2) Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat izin dari pemilik prasarana perkeretaapian.
(3) Pembangunan, pengoperasian, perawatan, dan keselamatan perpotongan antara jalur kereta api dan jalan menjadi tanggung jawab pemegang izin.
Pasal 93
Pemanfaatan tanah pada ruang milik jalur kereta api untuk perpotongan atau persinggungan dikenakan biaya oleh pemilik prasarana perkeretaapian.
Pasal 94
(1) Untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan, perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin harus ditutup.
(2) Penutupan perlintasan sebidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Pasal 95
Ketentuan lebih lanjut mengenai perpotongan dan persinggungan jalur kereta api dengan bangunan lain diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
SARANA PERKERETAAPIAN
Bagian Kesatu
Persyaratan Teknis dan Kelaikan Sarana Perkeretaapian
Pasal 96
(1) Sarana perkeretaapian menurut jenisnya terdiri atas:
a. lokomotif;
b. kereta;
c. gerbong; dan
d. peralatan khusus.
(2) Setiap sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan teknis dan kelaikan operasi yang berlaku bagi setiap jenis sarana perkeretaapian.
Pasal 97
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan kelaikan operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengujian dan Pemeriksaan
Pasal 98
(1) Untuk memenuhi persyaratan teknis dan menjamin kelaikan operasi sarana perkeretaapian, wajib dilakukan pengujian dan pemeriksaan.
(2) Pengujian sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(3) Pemeriksaan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
Pasal 99
Pengujian sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) terdiri atas:
a. uji pertama; dan
b. uji berkala.
Pasal 100
(1) Uji pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf a wajib dilakukan terhadap setiap sarana perkeretaapian baru dan sarana perkeretaapian yang telah mengalami perubahan spesifikasi teknis.
(2) Uji pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 huruf a meliputi :
a. uji rancang bangun dan rekayasa;
b. uji statis; dan
c. uji dinamis.
(3) Uji pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(4) Sarana perkeretaapian yang mengalami perubahan spesifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dari Menteri.
Pasal 101
(1) Setiap sarana perkeretaapian yang lulus uji pertama diberi sertifikat uji pertama oleh :
a. Pemerintah;
b. badan hukum yang mendapat akreditasi dari Pemerintah; atau
c. lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(2) Sertifikat uji pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk selamanya, kecuali mengalami perubahan spesifikasi teknis.
Pasal 102
(1) Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf b wajib dilakukan untuk sarana perkeretaapian yang telah dioperasikan sesuai dengan ketentuan.
(2) Uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap fungsi sarana perkeretaapian yang meliputi:
a. uji statis; dan
b. uji dinamis.
(3) Uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
Pasal 103
(1) Sarana perkeretaapian yang lulus uji berkala diberi sertifikat uji berkala oleh :
a. Pemerintah;
b. badan hukum yang mendapat akreditasi dari Pemerintah; atau
c. lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(2) Sertifikat uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku:
a. berdasarkan jarak tempuh yang ditetapkan untuk sarana dengan penggerak;
b. selama 1 (satu) tahun untuk kereta dan gerbong.
Pasal 104
(1) Pemerintah, badan hukum, atau lembaga yang melaksanakan uji pertama dan uji berkala sarana perkeretapian wajib memiliki tenaga penguji.
(2) Tenaga penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki kualifikasi keahlian yang dibuktikan dengan sertifikat keahlian.
(3) Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh setelah lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan.
(4) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselenggarakan oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
Pasal 105
Pelaksanaan pengujian sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 wajib menggunakan peralatan pengujian dan sesuai dengan tata cara pengujian yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 106
Setiap badan hukum atau lembaga pengujian sarana perkeretaapian wajib melakukan pengujian sarana perkeretaapian dengan tenaga penguji sarana perkeretaapian yang memiliki sertifikat keahlian sarana perkeretaapian dan menggunakan peralatan pengujian prasarana perkeretaapian yang sesuai dengan tata cara pengujian sarana perkeretaapian yang ditetapkan.
Pasal 107
Setiap badan hukum atau lembaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan izin, atau pencabutan izin operasi.
Pasal 108
Setiap tenaga penguji sarana perkeretaapian yang melakukan pengujian sarana perkeretaapian wajib menggunakan peralatan pengujian dan melakukan pengujian sesuai dengan tata cara pengujian yang ditetapkan.
Pasal 109
Tenaga penguji sarana perkeretaapian yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan sertifikat keahlian, atau pencabutan sertifikat keahlian.
Pasal 110
(1) Pemeriksaan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3) dilakukan terhadap setiap jenis sarana dan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.
(2) Pemeriksaan setiap jenis sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemeriksaan teknis yang meliputi kondisi dan fungsi sarana perkeretaapian.
Pasal 111
(1) Pemeriksaan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3) harus dilakukan oleh tenaga yang memiliki kualifikasi keahlian dan sesuai dengan tata cara pemeriksaan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Tenaga pemeriksa sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan pemeriksaan wajib menggunakan peralatan yang sesuai dengan standar.
Pasal 112
Apabila penyelenggara sarana perkeretaapian dalam melaksanakan pemeriksaan tidak menggunakan tenaga yang memiliki kualifikasi keahlian dan tidak sesuai dengan tata cara yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan izin operasi, atau pencabutan izin operasi.
Pasal 113
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengujian dan pemeriksaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Perawatan Sarana Perkeretaaapian
Pasal 114
(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib merawat sarana perkeretaapian agar tetap laik operasi.
(2) Perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perawatan berkala; dan
b. perbaikan untuk mengembalikan fungsinya.
(3) Perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi standar dan tata cara perawatan yang ditetapkan oleh Menteri.
(4) Perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan oleh tenaga yang memenuhi syarat dan kualifikasi yang ditetapkan oleh Menteri.
(5) Pelaksanaan perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di balai yasa dan/atau di depo.
Pasal 115
Ketentuan lebih lanjut mengenai perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Awak Sarana Perkeretaapian
Pasal 116
(1) Pengoperasian sarana perkeretaapian wajib dilakukan oleh awak yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi kecakapan yang dibuktikan dengan sertifikat kecakapan.
(2) Sertifikat kecakapan awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan.
(3) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan usaha atau lembaga lain yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(4) Sertifikat kecakapan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh:
a. Pemerintah;
b. badan hukum yang mendapat akreditasi dari Pemerintah; atau
c. lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
Pasal 117
Ketentuan lebih lanjut mengenai awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
RANCANG BANGUN DAN REKAYASA
PERKERETAAPIAN
Pasal 118
(1) Untuk pengembangan perkeretaapian dilakukan rancang bangun dan rekayasa perkeretaapian.
(2) Rancang bangun dan rekayasa perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah;
c. badan usaha;
d. lembaga penelitian; atau
e. perguruan tinggi.
Pasal 119
Ketentuan lebih lanjut mengenai rancang bangun dan rekayasa perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
LALU LINTAS KERETA API
Bagian Kesatu
Tata Cara Berlalu Lintas
Kereta Api
Pasal 120
Pengoperasian kereta api menggunakan prinsip berlalu lintas satu arah pada jalur tunggal dan jalur ganda atau lebih dengan ketentuan:
a. setiap jalur pada satu petak blok hanya diizinkan dilewati oleh satu kereta api; dan
b. jalur kanan digunakan oleh kereta api untuk jalur ganda atau lebih.
Pasal 121
(1) Pengoperasian kereta api yang dimulai dari stasiun keberangkatan, bersilang, bersusulan, dan berhenti di stasiun tujuan diatur berdasarkan grafik perjalanan kereta api.
(2) Grafik perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat oleh pemilik prasarana perkeretaapian sekurang-kurangnya berdasarkan:
a. jumlah kereta api;
b. kecepatan yang diizinkan;
c. relasi asal tujuan; dan
d. rencana persilangan dan penyusulan.
(3) Grafik perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah apabila terjadi perubahan pada:
a. prasarana perkeretaapian;
b. jumlah sarana perkeretaapian;
c. kecepatan kereta api;
d. kebutuhan angkutan; dan
e. keadaan memaksa.
(4) Pengaturan perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas pengatur perjalanan kereta api yang memenuhi kualifikasi yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 122
(1) Sarana perkeretaapian hanya dapat dioperasikan oleh awak kereta api yang mendapat tugas dari penyelenggara sarana perkeretaapian.
(2) Awak Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki surat perintah tugas dari Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
(3) Awak kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mematuhi perintah atau larangan sebagai berikut:
a. petugas pengatur perjalanan kereta api;
b. sinyal; atau
c. tanda.
(4) Apabila terdapat lebih dari satu perintah atau larangan dalam waktu yang bersamaan, awak kereta api wajib mematuhi perintah atau larangan yang diberikan berdasarkan prioritas sebagai berikut:
a. petugas pengatur perjalanan kereta api;
b. sinyal; atau
c. tanda.
Pasal 123
Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan kereta api yang tidak memiliki surat perintah tugas dari Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan sertifikat kecakapan, atau pencabutan sertifikat kecakapan.
Pasal 124
Pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api
Bagian Kedua
Penanganan Kecelakaan
Kereta Api
Pasal 125
Dalam hal terjadi kecelakaan kereta api, pihak Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian harus melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. mengambil tindakan untuk kelancaran dan keselamatan lalu lintas;
b. menangani korban kecelakaan;
c. memindahkan penumpang, bagasi, dan barang antaran ke kereta api lain atau moda transportasi lain untuk meneruskan perjalanan sampai stasiun tujuan;
d. melaporkan kecelakaan kepada Menteri, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota;
e. mengumumkan kecelakaan kepada pengguna jasa dan masyarakat;
f. segera menormalkan kembali lalu lintas kereta api setelah dilakukan penyidikan awal oleh pihak berwenang; dan
g. mengurus klaim asuransi korban kecelakaan.
Pasal 126
Ketentuan lebih lanjut mengenai lalu lintas kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
ANGKUTAN
Bagian Kesatu
Jaringan Pelayanan Perkeretaapian
Pasal 127
(1) Angkutan kereta api dilaksanakan dalam lintas-lintas pelayanan kereta api yang membentuk satu kesatuan dalam jaringan pelayanan perkeretaapian.
(2) Jaringan pelayanan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota; dan
b. jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan.
Pasal 128
(1) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) huruf a merupakan pelayanan yang menghubungkan:
a. antarkota antarnegara;
b. antarkota antarprovinsi;
c. antarkota dalam provinsi; dan
d. antarkota dalam kabupaten.
(2) Jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) huruf b yang berada dalam suatu wilayah perkotaan dapat:
a. melampaui 1 (satu) provinsi;
b. melampaui 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi; dan
c. berada dalam 1 (satu) kabupaten/kota.
(3) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota antarnegara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan antarkota antarprovinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b serta jaringan pelayanan perkotaan yang melampaui 1 (satu) provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Pemerintah.
(4) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota dalam provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan yang melampaui 1(satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh pemerintah provinsi.
(5) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota dalam kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan yang berada dalam 1 (satu) kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Pasal 129
Ketentuan lebih lanjut mengenai jaringan pelayanan perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengangkutan Orang dengan Kereta Api
Pasal 130
(1) Pengangkutan orang dengan kereta api dilakukan dengan menggunakan kereta.
(2) Dalam keadaan tertentu Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dapat melakukan pengangkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan gerbong atas persetujuan Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(3) Pengangkutan orang dengan menggunakan gerbong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memperhatikan keselamatan dan fasilitas minimal.
Pasal 131
(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah lima tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia.
(2) Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan.
Pasal 132
(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengangkut orang yang telah memiliki karcis.
(2) Orang yang telah memiliki karcis berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih.
(3) Karcis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian angkutan orang.
Pasal 133
(1) Dalam penyelenggaraan pengangkutan orang dengan kereta api, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib:
a. mengutamakan keselamatan dan keamanan orang;
b. mengutamakan pelayanan kepentingan umum;
c. menjaga kelangsungan pelayanan pada lintas yang ditetapkan;
d. mengumumkan jadwal perjalanan kereta api dan tarif angkutan kepada masyarakat; dan
e. mematuhi jadwal keberangkatan kereta api.
(2) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengumumkan kepada pengguna jasa apabila terjadi pembatalan dan penundaan keberangkatan, keterlambatan kedatangan, atau pengalihan pelayanan lintas kereta api disertai dengan alasan yang jelas.
Pasal 134
(1) Apabila terjadi pembatalan keberangkatan perjalanan kereta api, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengganti biaya yang telah dibayar oleh orang yang telah membeli karcis.
(2) Apabila orang yang telah membeli karcis membatalkan keberangkatan dan sampai dengan batas waktu keberangkatan sebagaimana dijadwalkan tidak melapor kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, orang tersebut tidak mendapat penggantian biaya karcis.
(3) Apabila orang yang telah membeli karcis membatalkan keberangkatan sebelum batas waktu keberangkatan sebagaimana dijadwalkan melapor kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, mendapat pengembalian sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari harga karcis.
(4) Apabila dalam perjalanan kereta api terdapat hambatan atau gangguan yang mengakibatkan kereta api tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai stasiun tujuan yang disepakati, penyelenggara sarana perkeretaapian wajib :
a. menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan; atau
b. memberikan ganti kerugian senilai harga karcis.
Pasal 135
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan atau tidak memberi ganti kerugian senilai harga karcis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin operasi atau pencabutan izin operasi.
Pasal 136
(1) Dalam kegiatan angkutan orang Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berwenang untuk:
a. memeriksa karcis;
b. menindak pengguna jasa yang tidak mempunyai karcis;
c. menertibkan pengguna jasa kereta api atau masyarakat yang mengganggu perjalanan kereta api; dan
d. melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap masyarakat yang berpotensi menimbulkan gangguan terhadap perjalanan kereta api.
(2) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dalam keadaan tertentu dapat membatalkan perjalanan kereta api apabila terdapat hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan, ketertiban, dan kepentingan umum.
Pasal 137
(1) Pelayanan angkutan orang harus memenuhi standar pelayanan minimum.
(2) Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan di stasiun keberangkatan, dalam perjalanan, dan di stasiun tujuan.
Pasal 138
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan orang dengan kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Angkutan Barang dengan Kereta Api
Pasal 139
(1) Angkutan barang dengan kereta api dilakukan dengan menggunakan gerbong.
(2) Angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. barang umum;
b. barang khusus;
c. bahan berbahaya dan beracun; dan
d. limbah bahan berbahaya dan beracun.
Pasal 140
(1) Angkutan barang umum dan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2) huruf a dan huruf b wajib memenuhi persyaratan:
a. pemuatan, penyusunan, dan pembongkaran barang pada tempat-tempat yang telah ditetapkan sesuai dengan klasifikasinya;
b. keselamatan dan keamanan barang yang diangkut; dan
c. gerbong yang digunakan sesuai dengan klasifikasi barang yang diangkut.
(2) Kereta api untuk mengangkut bahan berbahaya dan beracun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2) huruf c serta limbah bahan berbahaya dan beracun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2) huruf d wajib:
a. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan sifat bahan berbahaya dan beracun yang diangkut;
b. menggunakan tanda sesuai dengan sifat bahan berbahaya dan beracun yang diangkut; dan
c. menyertakan petugas yang memiliki kualifikasi tertentu sesuai dengan sifat bahan berbahaya dan beracun yang diangkut.
Pasal 141
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengangkut barang yang telah dibayar biaya angkutannya oleh pengguna jasa sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih.
(2) Pengguna jasa yang telah membayar biaya angkutan berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih.
(3) Surat angkutan barang merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian pengangkutan barang.
Pasal 142
(1) Dalam kegiatan pengangkutan barang dengan kereta api, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berwenang untuk:
a. memeriksa kesesuaian barang dengan surat angkutan barang;
b. menolak barang angkutan yang tidak sesuai dengan surat angkutan barang; dan
c. melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila barang yang akan diangkut merupakan barang terlarang.
(2) Apabila terdapat barang yang diangkut dianggap membahayakan keselamatan, ketertiban, dan kepentingan umum, penyelenggara sarana perkeretaapian dapat membatalkan perjalanan kereta api.
Pasal 143
(1) Pengguna jasa bertanggung jawab atas kebenaran keterangan yang dicantumkan dalam surat angkutan barang.
(2) Semua biaya yang timbul sebagai akibat keterangan yang tidak benar serta merugikan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian atau pihak ketiga menjadi beban dan tanggung jawab pengguna jasa.
Pasal 144
(1) Apabila terjadi pembatalan keberangkatan perjalanan kereta api, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengirim barang dengan kereta api lain atau moda transportasi lain atau mengganti biaya angkutan barang.
(2) Apabila pengguna jasa membatalkan pengiriman barang dan sampai dengan batas waktu sebagaimana dijadwalkan tidak melapor kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, pengguna jasa tidak mendapat penggantian biaya angkutan barang.
(3) Apabila pengguna jasa membatalkan atau menunda pengiriman barang sebelum batas waktu keberangkatan sebagaimana dijadwalkan, biaya angkutan barang dikembalikan dan dapat dikenai denda.
(4) Apabila dalam perjalanan kereta api terdapat hambatan atau gangguan yang mengakibatkan kereta api tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai stasiun tujuan, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib meneruskan angkutan barang dengan:
a. kereta api lain; atau
b. moda transportasi lain.
Pasal 145
(1) Pada saat barang tiba di tempat tujuan, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian segera memberitahu kepada penerima barang bahwa barang telah tiba dan dapat segera diambil.
(2) Biaya yang timbul karena penerima barang terlambat dan/atau lalai mengambil barang menjadi tanggung jawab penerima barang.
(3) Dalam hal barang yang diangkut rusak, salah kirim, atau hilang akibat kelalaian Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengganti segala kerugian yang ditimbulkan.
Pasal 146
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan barang dengan kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Angkutan Multimoda
Pasal 147
(1) Angkutan kereta api dapat merupakan bagian dari angkutan multimoda yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan multimoda.
(2) Penyelenggaraan angkutan kereta api dalam angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan perjanjian antara Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dengan badan usaha angkutan multimoda dan penyelenggara moda lainnya.
(3) Apabila dalam perjanjian angkutan multimoda menggunakan angkutan kereta api tidak diatur secara khusus mengenai kewajiban Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, diberlakukan ketentuan angkutan kereta api.
Pasal 148
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Angkutan Perkeretaapian Khusus
Pasal 149
(1) Pelayanan angkutan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) hanya digunakan untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha tertentu.
(2) Pelayanan angkutan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diintegrasikan dengan pelayanan jaringan angkutan perkeretaapian umum dan pelayanan jaringan angkutan perkeretaapian khusus lainnya setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(3) Pelayanan angkutan perkeretaapian khusus disesuaikan dengan ketentuan mengenai angkutan orang dan/atau angkutan barang perkeretaapian umum.
Pasal 150
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Tarif Angkutan Kereta Api
Pasal 151
(1) Tarif angkutan kereta api terdiri atas tarif angkutan orang dan tarif angkutan barang.
(2) Pedoman tarif angkutan orang dan tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Pedoman penetapan tarif angkutan berdasarkan perhitungan modal, biaya operasi, biaya perawatan, dan keuntungan.
Pasal 152
(1) Tarif angkutan orang ditetapkan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dengan memperhatikan pedoman tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(2) Tarif angkutan orang dapat ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk:
a. angkutan pelayanan kelas ekonomi; dan
b. angkutan perintis.
Pasal 153
(1) Untuk pelayanan kelas ekonomi, dalam hal tarif angkutan yang ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (2) huruf a lebih rendah daripada tarif yang dihitung oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berdasarkan pedoman penetapan tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah, selisihnya menjadi tanggung jawab Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam bentuk kewajiban pelayanan publik.
(2) Untuk pelayanan angkutan perintis, dalam hal biaya yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian untuk mengoperasikan sarana perkeretaapian lebih tinggi daripada pendapatan yang diperoleh berdasarkan tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, selisihnya menjadi tanggung jawab Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam bentuk subsidi angkutan perintis.
Pasal 154
(1) Apabila Penyelenggara Sarana Perkeretaapian menggunakan prasarana perkeretaapian yang dimiliki atau dioperasikan oleh Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian membayar biaya penggunaan prasarana perkeretaapian.
(2) Besarnya biaya penggunaan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan pedoman penetapan biaya penggunaan prasarana perkeretaapian yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 155
Tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1) ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berdasarkan pedoman penetapan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
Pasal 156
Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan kereta api dan biaya penggunaan prasarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Tanggung Jawab Penyelenggara Sarana Perkeretaapian
Pasal 157
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna jasa yang mengalami kerugian, luka-luka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak pengguna jasa diangkut dari stasiun asal sampai dengan stasiun tujuan yang disepakati.
(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata dialami.
(4) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab atas kerugian, luka-luka, atau meninggalnya penumpang yang tidak disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api.
Pasal 158
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang hilang, rusak, atau musnah yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak barang diterima oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sampai dengan diserahkannya barang kepada penerima.
(3) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata dialami, tidak termasuk keuntungan yang akan diperoleh dan biaya jasa yang telah digunakan.
(4) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh keterangan yang tidak benar dalam surat angkutan barang.
Pasal 159
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api, kecuali jika pihak ketiga dapat membuktikan bahwa kerugian disebabkan oleh kesalahan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
(2) Hak untuk mengajukan keberatan dan permintaan ganti kerugian dari pihak ketiga kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai tanggal terjadinya kerugian.
Pasal 160
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab Penyelenggara Sarana Perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Hak Penyelenggara Sarana Perkeretaapian
Pasal 161
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berhak menahan barang yang diangkut dengan kereta api apabila pengirim atau penerima barang tidak memenuhi kewajiban dalam batas waktu yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian angkutan.
(2) Pengirim atau penerima barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai biaya penyimpanan atas barang yang ditahan.
(3) Dalam hal pengirim atau penerima barang tidak memenuhi kewajiban setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dapat menjual barang secara lelang.
(4) Penjualan barang secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pelelangan.
(5) Hasil penjualan lelang barang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan untuk memenuhi kewajiban pengirim dan/atau penerima barang.
(6) Dalam hal barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat membahayakan atau dapat mengganggu dalam penyimpanannya, barang tersebut harus dimusnahkan.
Pasal 162
Barang-barang yang tidak diambil setelah melebihi batas waktu yang telah ditentukan dinyatakan sebagai barang takbertuan dan dapat dijual secara lelang sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau dimusnahkan apabila membahayakan atau dapat mengganggu dalam penyimpanannya.
Pasal 163
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak penyelenggara sarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesepuluh
Jangka Waktu Pengajuan Keberatan dan Ganti Kerugian
Pasal 164
(1) Dalam hal pihak penerima barang tidak menyampaikan keberatan pada saat menerima barang dari Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, barang dianggap telah diterima dalam keadaan baik.
(2) Dalam hal terdapat kerusakan barang pada saat barang diterima, penerima barang dapat mengajukan keberatan dan permintaan ganti kerugian selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak barang diterima.
(3) Dalam hal penerima barang tidak mengajukan ganti kerugian dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hak untuk menuntut ganti kerugian kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian menjadi gugur.
Pasal 165
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan keberatan dan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII
ASURANSI DAN GANTI KERUGIAN
Pasal 166
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian wajib mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87.
Pasal 167
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 dan Pasal 158.
(2) Besarnya nilai pertanggungan paling sedikit harus sama dengan nilai ganti kerugian yang diberikan kepada pengguna jasa yang menderita kerugian sebagai akibat pengoperasian kereta api.
Pasal 168
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin operasi atau pencabutan izin operasi.
Pasal 169
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengasuransikan awak sarana perkeretaapian.
(2) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengasuransikan sarana perkeretaapian.
(3) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengasuransikan kerugian yang diderita oleh pihak ketiga sebagai akibat pengoperasian angkutan kereta api.
Pasal 170
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berhak menuntut ganti kerugian kepada pihak yang menimbulkan kerugian terhadap prasarana perkeretapian, sarana perkeretaapian, dan orang yang dipekerjakan.
Pasal 171
Ketentuan lebih lanjut mengenai asuransi dan ganti kerugian Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian terhadap pengguna jasa, awak, pihak ketiga, dan sarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 172
Masyarakat berhak:
a. memberi masukan kepada Pemerintah, Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian, dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dalam rangka pembinaan, penyelenggaraan, dan pengawasan perkeretaapian;
b. mendapat pelayanan penyelenggaraan perkeretaapian sesuai dengan standar pelayanan minimum; dan
c. memperoleh informasi mengenai pokok-pokok rencana induk perkeretaapian dan pelayanan perkeretaapian.
Pasal 173
Masyarakat wajib ikut serta menjaga ketertiban, keamanan, dan keselamatan penyelenggaraan perkeretaapian.
Pasal 174
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIV
PEMERIKSAAN DAN PENELITIAN KECELAKAAN KERETA API
Pasal 175
(1) Pemeriksaan dan penelitian penyebab kecelakaan kereta api dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pelaksanaan pemeriksaan dan penelitian kecelakaan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu badan yang dibentuk atau ditugaskan oleh Pemerintah.
(3) Hasil pemeriksaan dan penelitian penyebab kecelakaan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dibuat dalam bentuk rekomendasi wajib ditindaklanjuti oleh Pemerintah, Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian, dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian serta dapat diumumkan kepada publik.
Pasal 176
(1) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan/atau Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib membiayai pemeriksaan dan penelitian penyebab kecelakaan kereta api.
(2) Biaya pemeriksaan dan penelitian penyebab kecelakaan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diasuransikan.
Pasal 177
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan dan penelitian penyebab kecelakaan kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XV
LARANGAN
Pasal 178
Setiap orang dilarang membangun gedung, membuat tembok, pagar, tanggul, bangunan lainnya, menanam jenis pohon yang tinggi, atau menempatkan barang pada jalur kereta api yang dapat mengganggu pandangan bebas dan membahayakan keselamatan perjalanan kereta api.
Pasal 179
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya pergeseran tanah di jalur kereta api sehingga mengganggu atau membahayakan perjalanan kereta api.
Pasal 180
Setiap orang dilarang menghilangkan, merusak, atau melakukan perbuatan yang mengakibatkan rusak dan/atau tidak berfungsinya prasarana dan sarana perkeretaapian.
Pasal 181
(1) Setiap orang dilarang:
a. berada di ruang manfaat jalur kereta api;
b. menyeret, menggerakkan, meletakkan, atau memindahkan barang di atas rel atau melintasi jalur kereta api; atau
c. menggunakan jalur kereta api untuk kepentingan lain, selain untuk angkutan kereta api.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi petugas di bidang perkeretaapian yang mempunyai surat tugas dari Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian.
Pasal 182
Setiap orang dilarang melaksanakan pengujian sarana perkeretaapian dalam hal:
a. tidak memiliki sertifikat keahlian pengujian sarana perkeretaapian;
b. melaksanakan pengujian tidak sesuai dengan tata cara pengujian; dan/atau
c. tidak menggunakan peralatan pengujian;
Pasal 183
(1) Setiap orang dilarang berada:
a. di atap kereta;
b. di lokomotif;
c. di dalam kabin masinis;
d. di gerbong; atau
e. di bagian kereta yang peruntukannya bukan untuk penumpang.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi awak kereta api yang sedang melaksanakan tugas dan/atau seseorang yang mendapat izin dari Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
Pasal 184
Setiap orang dilarang menjual karcis kereta api di luar tempat yang telah ditentukan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
Pasal 185
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dilarang menugaskan Awak Sarana Perkeretaapian yang tidak memiliki sertifikat kecakapan untuk mengoperasikan sarana perkeretaapian.
BAB XVI
PENYIDIKAN
Pasal 186
(1) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di bidang perkeretaapian dapat diberi kewenangan khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan atas pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan, pengaduan, atau keterangan tentang terjadinya tindak pidana di bidang perkeretaapian;
b. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana di bidang perkeretaapian;
c. melakukan penggeledahan, penyegelan, dan/atau penyitaan alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang perkeretaapian;
d. melakukan pemeriksaan tempat terjadinya tindak pidana dan tempat lain yang diduga terdapat barang bukti tindak pidana di bidang perkeretaapian;
e. melakukan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang perkeretaapian;
f. meminta keterangan dan barang bukti dari orang dan/atau badan hukum atas terjadinya tindak pidana di bidang perkeretaapian;
g. mendatangkan ahli yang diperlukan untuk penyidikan tindak pidana di bidang perkeretaapian;
h. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang perkeretaapian; dan
i. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti terjadinya tindak pidana di bidang perkeretaapian.
(3) Pejabat pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XVII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 187
(1) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Prasarana Perkeretaapian umum yang tidak memenuhi standar kelaikan operasi prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 yang mengakibatkan kecelakaan kereta api dan kerugian bagi harta benda atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Pasal 188
Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum yang tidak memiliki izin usaha, izin pembangunan, dan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Pasal 189
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Sarana Perkeretaapian umum yang tidak memenuhi standar kelaikan operasi sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 yang mengakibatkan kecelakaan kereta api dan kerugian bagi harta benda atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 190
Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum yang tidak memiliki izin usaha dan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Pasal 191
(1) Penyelenggara perkeretaapian khusus yang tidak memiliki izin pengadaan atau pembangunan dan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan kereta api dan kerugian bagi harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 192
Setiap orang yang membangun gedung, membuat tembok, pagar, tanggul, dan bangunan lainnya, menanam jenis pohon yang tinggi, atau menempatkan barang pada jalur kereta api, yang dapat mengganggu pandangan bebas dan membahayakan keselamatan perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 193
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya pergeseran tanah di jalur kereta api sehingga mengganggu atau membahayakan perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusakan prasarana perkeretaapian dan/atau sarana perkeretaapian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Pasal 194
Tenaga penguji Prasarana Perkeretaapian yang melakukan pengujian Prasarana Perkeretaapian tidak menggunakan peralatan pengujian Prasarana Perkeretaapian dan/atau melakukan pengujian tidak sesuai dengan tata cara pengujian Prasarana Perkeretaapian yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)
Pasal 195
Petugas prasarana perkeretaapian yang mengoperasikan Prasarana Perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 196
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang mengoperasikan prasarana perkeretaapian dengan petugas yang tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 197
(1) Setiap orang yang menghilangkan, merusak, dan/atau melakukan perbuatan yang mengakibatkan rusak dan tidak berfungsinya prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan dan/atau kerugian bagi harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 198
(1) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang tidak menempatkan tanda larangan secara jelas dan lengkap di ruang manfaat jalur kereta api dan di jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 yang mengakibatkan kerugian bagi harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 199
Setiap orang yang berada di ruang manfaat jalan kereta api, menyeret barang di atas atau melintasi jalur kereta api tanpa hak, dan menggunakan jalur kereta api untuk kepentingan lain selain untuk angkutan kereta api yang dapat mengganggu perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Pasal 200
Pemilik Prasarana Perkeretaapian yang memberi izin pembangunan jalan, jalur kereta api khusus, terusan, saluran air dan/atau prasarana lain yang memerlukan persambungan, dan perpotongan dan/atau persinggungan dengan jalur kereta api umum yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Pasal 201
Setiap orang yang membangun jalan, jalur kereta api khusus, terusan, saluran air, dan/atau prasarana lain yang menimbulkan atau memerlukan persambungan, perpotongan, atau persinggungan dengan jalan kereta api umum tanpa izin pemilik prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 202
Tenaga penguji sarana perkeretaapian yang melakukan pengujian sarana perkeretaapian tidak menggunakan peralatan pengujian dan/atau melakukan pengujian tidak sesuai dengan tata cara pengujian yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, mengakibatkan kecelakaan kereta api dan kerugian bagi harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 203
(1) Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan sarana perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan kereta api dan kerugian bagi harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 204
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Sarana Perkeretaapian dengan Awak Sarana Perkeretaapian yang tidak memiliki sertifikat tanda kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp250.000.000,00. (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 205
Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan kereta api tanpa surat perintah tugas dari Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 206
(1) Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan kereta api yang tidak mematuhi perintah petugas pengatur perjalanan kereta api, sinyal, atau tanda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (3) dan ayat (4), mengakibatkan kecelakaan kereta api dan kerugian bagi harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 207
Setiap orang yang tanpa hak berada di dalam kabin masinis, di atap kereta, di lokomotif, di gerbong, atau di bagian kereta yang peruntukannya bukan untuk penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Pasal 208
Setiap orang yang menjual karcis kereta api di luar tempat yang telah ditentukan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 209
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, Petugas Prasarana Perkeretaapian, dan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 210
(1)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189, Pasal 191, dan Pasal 193 yang mengakibatkan luka berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189, Pasal 191 dan Pasal 193 yang mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Pasal 211
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap Pengguna Jasa, Awak Sarana Perkeretaapian, dan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (1) dan Pasal 169 ayat (1) dan ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 212
Selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193, Pasal 196, dan Pasal 204, korban dapat menuntut ganti kerugian terhadap Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang pelaksanaannya berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.
Pasal 213
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187, Pasal 188, Pasal 189, Pasal 190, Pasal 191, Pasal 196, Pasal 198, Pasal 200, Pasal 204, Pasal 209, dan Pasal 211 dilakukan oleh suatu korporasi, maka dipidana dengan pidana denda yang sama sesuai pasal-pasal tersebut ditambah dengan 1/3 (satu pertiga).
BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 214
(1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Badan Usaha yang telah menyelenggarakan prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian tetap menyelenggarakan prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-undang ini berlaku, penyelenggaraan prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian yang dilaksanakan oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta penyelenggaraan prasarana perkeretaapian milik Pemerintah wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 215
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3479) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 216
Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
Pasal 217
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 47 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3479) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 218
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Dr. H SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN....NOMOR