bisnis, syariah, duit, kuliah, makalah, naryanto, anto, uu, peraturan, skripsi, online, mlm, iklan

Senin, 16 Agustus 2010

Kewarganegaraan

“KEWARGANEGARAAN “ SEBAGAI PROSES




1. Kewarganegaraan adalah gagasan dalam kerangka negara-bangsa. Secara

konsep maupun praktis, kewarganegaraan selalu berada dalam proses

rekonstruksi. Elemen-elemen yang dikonstruksikan adalah: a) masalah hak dan

kewajiban warga negara dan negara; b. Rumusan hak dan kewajiban yang

berimplikasi secara spesifik pada kelompok tertentu. c Rumusan hak dan

kewajiban yang bersifat kolektif dan individual

2. Konsep kewarganegaraan lahir dalam kontek negara demokratis karena

mempunyai asumsi tentang kedaulatan rakyat dan hak rakyat yang harus

dipenuhi. Namun dalam praktiknya ada bermacam bentuk pelaksanaan

demokrasi, misalnya yang menekankan kebebasan individual dimana peran

negara dibatasi, yang menekankan identitas kolektif dan kepemimpinan maupun

yang menggambarkan individu sebagai agen yang mampu melakukan

perubahan. Gambaran tentang individu dalam sistem demokrasi ini akan

mencerminkan sekaligus hak dan kewajiban negara dalam mengelola

masyarakat.

3. Ada beberapa macam pengkategorian hak, misalnya (Bader, 1995) :

Hak Moral Pasif: Hak sebagai manusia yang menjadi subyek hukum yang sama

Hak Moral Negatif: hak dijamin kemanusiaannya

Hak Moral Positif: dimana pengakuan tentang kemanusiaan tersebut membuat

negara wajib memenuhi beberapa kebutuhan misalnya pendidikan, keamanana,

ketersediaan pangan, dsb.

Hak politik untuk mempengaruhi beberapa pengaturan publik (pemilu bebas,

ikut pemilu, melakukan komnikasi politik, dsb)

Hak Partisipasi: ikut dalam proses mempengaruhi pengambilan keputusan di

luar pemilu

Hak menjunjung Identitas kelompok dalam kehidupan publik

Rentang hak warga negara warga negara mulai dari perlindungan terhadap

ekslusi hingga aktif membentuk pengelolaan publik

4. Pembahasan tentang kewarganegaraan bergerak maju dari sekedar tentang

daftar hak ke arah konteks dimana hak tersebut bisa diterapkan atau

diperjuangkan. Pengakuan atas hak tertentu tidak cukup, butuh sesuatu yang

bisa menjamin masuk ke wilayah publik

5. Bagaimana menjamin hak yang sudah ditetapkan dan maupun hak menjaga

dari proses eksklusi tergantung pada karakter negara maupun karakter kelompok

dalam masyarakat.

Kymlicka (2003) menyebut tiga persayaratan minimun dari suatu negara yang

menjamin hak setiap kelompok yaitu: a. Negara tidak boleh diperangkap oleh

golongan yang dominan; (b) negara tdak boleh mengeluarkan kebijakan nation

building yang berakibat pada ekslusi atau peleburan paksa atas kelompok

tertentu dan menggantikannya dengan kebijakan yang mendorong proses inklusi

melalui pengakuan dan akomodasi; (c) negara mengakui adanya latar belakang

historis yang jika dibiarkan terus memperkuat proses ekslusi.

6. Di pihak lain, negara dapat mengabaikan kebijakan proses inklusi karena

berbagai sebab seperti lemahnya kapasitas negara, fokus pada sesuatu yang lebih

dianggap mendesak, terbenam dalam pertempuran politik, atau pemerintah

diperas oleh anggota parlemen. Agar negara terus menaruh perhatian pada

peguatan inklusi dan mencegah ekslusi, maka di pihak masyarakat politik harus

ada yang terus menerus menekankan hal ini.

7. Arti menekankan disini bukan hanya melalui wacana di wilayah publik, tapi

juga sesuatu yang tertanam pada keberadaan organisasi/lembaga masyarakat

sipil: apakah dapat menghasilkan metode yang bisa digunakan oleh kelompok

lain dan juga lembaga negara, apakah organisasi mereka sendiri cukup

berinteraksi dan bekerja sama dengan kelompok marginal (secara sosial, politik,

atau ekonomi).

8. Kultur kewarganegaraan tertentu adalah persoalan diterima dalam kehidupan

sehari-hari masyarakat. Artinya, harus ada perluasan gagasan dari masyarakat

politik (atau menurut perpektif tertentu, masyarakat sipil) ke masyarakt luas.

Masyarakat sipil yang ingin memperkuat proses inklusi harus mengembangkan

sarana sosial untuk mendorong masyarakat mengintepretasikan relasi sesuai

dengan kewarganegaraan multi kultural.

9. Ada beberapa macam tingkatan penerimaan kultur multikultural dalam

masyarakat bahkan masyarakat politik sendori.

Pertama, toleransi atas keberadaan dan pengakuan keberadaan

Kedua, mengakui bahwa mereka memiliki negara juga karena itu berhak

berpartisipasi dalam sistem politik yang ada.

Ketiga, dapat menerima kenyataan bahwa adalah tidak mungkin memahami

sepenuhnya karakter dan persoalan dari golongan lan, karena itu memberi ruang

pada golongan lain itu mengajukan “wacananya” sendiri. Aturan main dalam

sistem politik atau kebijakan umum bisa saja dipandang salah oleh golongan

tertentu. Mereka menginginkan sesuatu yang lebih memberi jaminanan,

misalnya. Bisa saja, suatu hukum atau kebijakan tertentu tidak cukup pada

tingkat sosial. Sebagai contoh, jika masyarakat belum menerima keturunan

Tionghoa sebagai bagian dari “kita”, maka hal ini bisa memberi ruang sosial pada

aparat negara melakukan diskriminasi di lapangan.

10. Bagi siapapun yang ingin mendorong kultur (nilai dan norma) kewargaan

multi kultural, harus dapat menciptakan konteks untuk menghidupkan

identitas kolektif dan menghasilkan kinginan kolektif. Contoh dari konteks:

program penghapusan kemiskinan dengan memperhitungkan berbagai latar

belakang kelompok di dalamnya, perbaikan institusi negara untuk alokasi

sumber daya lebih baik, penciptkaan akuntabilitas pejabat publik. Program program

ini tidak langsung menangani keragaman golongan, namun

menciptakan suatu rasionalitas publik dan kestabilan sistem. Tidak ada gunanya

langsung merubah sistem menurut prinsip tertentu sebelum sistemnya sendiri

tegalk. Sebagai contoh, tegakan dulu birokrasi yang tidak korup, baru ubah agar

lebih sesuatu dengan karakter persoalan masyarakat yang beragam.

11. Dalam masyarakat bukan hanya terdapat perbedaan kultural berdasar latar

belakang suku, agama, namun juga perbedaan kapasitas untuk terlibat dalam

gagasan dan aksi kolektif. Karena itu pembaharuan institusional dibayangkan

mempunyai bermacam-macam komposit elemen tentang hak dan pembagian

tanggungjawab, kepemimpinan, hak dan kewajiban, kontrol, bahkan intervensi

pemerintah. Negara, sebagai akibatnya, harus relfektif dan mempunyai kapasitas

aktif, untuk bermain di banyak tali. Msukan dan Kerjasama dari organisasi

masyakat sipil karena itu sangat dibutuhkan bukan hanya untuk ketepatan

penanganan persoalan namun juga legitimasi.

Di Indonesia, aspek tanggungjawan intitusional/organisasional untuk dapat

hidup bersama belum banyak diperhatikan dan dipandang penting. Akibatnya,

aspek pembahruan organisasi masyarakat yang menjadi lebih sebagai “sarang“

untuk pengajuan identitas diri, bahkan untuk klaim sumber daya saja, juga tidak

ditangani secara memadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar