“KEWARGANEGARAAN “ SEBAGAI PROSES
1. Kewarganegaraan adalah gagasan dalam kerangka negara-bangsa. Secara
konsep maupun praktis, kewarganegaraan selalu berada dalam proses
rekonstruksi. Elemen-elemen yang dikonstruksikan adalah: a) masalah hak dan
kewajiban warga negara dan negara; b. Rumusan hak dan kewajiban yang
berimplikasi secara spesifik pada kelompok tertentu. c Rumusan hak dan
kewajiban yang bersifat kolektif dan individual
2. Konsep kewarganegaraan lahir dalam kontek negara demokratis karena
mempunyai asumsi tentang kedaulatan rakyat dan hak rakyat yang harus
dipenuhi. Namun dalam praktiknya ada bermacam bentuk pelaksanaan
demokrasi, misalnya yang menekankan kebebasan individual dimana peran
negara dibatasi, yang menekankan identitas kolektif dan kepemimpinan maupun
yang menggambarkan individu sebagai agen yang mampu melakukan
perubahan. Gambaran tentang individu dalam sistem demokrasi ini akan
mencerminkan sekaligus hak dan kewajiban negara dalam mengelola
masyarakat.
3. Ada beberapa macam pengkategorian hak, misalnya (Bader, 1995) :
Hak Moral Pasif: Hak sebagai manusia yang menjadi subyek hukum yang sama
Hak Moral Negatif: hak dijamin kemanusiaannya
Hak Moral Positif: dimana pengakuan tentang kemanusiaan tersebut membuat
negara wajib memenuhi beberapa kebutuhan misalnya pendidikan, keamanana,
ketersediaan pangan, dsb.
Hak politik untuk mempengaruhi beberapa pengaturan publik (pemilu bebas,
ikut pemilu, melakukan komnikasi politik, dsb)
Hak Partisipasi: ikut dalam proses mempengaruhi pengambilan keputusan di
luar pemilu
Hak menjunjung Identitas kelompok dalam kehidupan publik
Rentang hak warga negara warga negara mulai dari perlindungan terhadap
ekslusi hingga aktif membentuk pengelolaan publik
4. Pembahasan tentang kewarganegaraan bergerak maju dari sekedar tentang
daftar hak ke arah konteks dimana hak tersebut bisa diterapkan atau
diperjuangkan. Pengakuan atas hak tertentu tidak cukup, butuh sesuatu yang
bisa menjamin masuk ke wilayah publik
5. Bagaimana menjamin hak yang sudah ditetapkan dan maupun hak menjaga
dari proses eksklusi tergantung pada karakter negara maupun karakter kelompok
dalam masyarakat.
Kymlicka (2003) menyebut tiga persayaratan minimun dari suatu negara yang
menjamin hak setiap kelompok yaitu: a. Negara tidak boleh diperangkap oleh
golongan yang dominan; (b) negara tdak boleh mengeluarkan kebijakan nation
building yang berakibat pada ekslusi atau peleburan paksa atas kelompok
tertentu dan menggantikannya dengan kebijakan yang mendorong proses inklusi
melalui pengakuan dan akomodasi; (c) negara mengakui adanya latar belakang
historis yang jika dibiarkan terus memperkuat proses ekslusi.
6. Di pihak lain, negara dapat mengabaikan kebijakan proses inklusi karena
berbagai sebab seperti lemahnya kapasitas negara, fokus pada sesuatu yang lebih
dianggap mendesak, terbenam dalam pertempuran politik, atau pemerintah
diperas oleh anggota parlemen. Agar negara terus menaruh perhatian pada
peguatan inklusi dan mencegah ekslusi, maka di pihak masyarakat politik harus
ada yang terus menerus menekankan hal ini.
7. Arti menekankan disini bukan hanya melalui wacana di wilayah publik, tapi
juga sesuatu yang tertanam pada keberadaan organisasi/lembaga masyarakat
sipil: apakah dapat menghasilkan metode yang bisa digunakan oleh kelompok
lain dan juga lembaga negara, apakah organisasi mereka sendiri cukup
berinteraksi dan bekerja sama dengan kelompok marginal (secara sosial, politik,
atau ekonomi).
8. Kultur kewarganegaraan tertentu adalah persoalan diterima dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat. Artinya, harus ada perluasan gagasan dari masyarakat
politik (atau menurut perpektif tertentu, masyarakat sipil) ke masyarakt luas.
Masyarakat sipil yang ingin memperkuat proses inklusi harus mengembangkan
sarana sosial untuk mendorong masyarakat mengintepretasikan relasi sesuai
dengan kewarganegaraan multi kultural.
9. Ada beberapa macam tingkatan penerimaan kultur multikultural dalam
masyarakat bahkan masyarakat politik sendori.
Pertama, toleransi atas keberadaan dan pengakuan keberadaan
Kedua, mengakui bahwa mereka memiliki negara juga karena itu berhak
berpartisipasi dalam sistem politik yang ada.
Ketiga, dapat menerima kenyataan bahwa adalah tidak mungkin memahami
sepenuhnya karakter dan persoalan dari golongan lan, karena itu memberi ruang
pada golongan lain itu mengajukan “wacananya” sendiri. Aturan main dalam
sistem politik atau kebijakan umum bisa saja dipandang salah oleh golongan
tertentu. Mereka menginginkan sesuatu yang lebih memberi jaminanan,
misalnya. Bisa saja, suatu hukum atau kebijakan tertentu tidak cukup pada
tingkat sosial. Sebagai contoh, jika masyarakat belum menerima keturunan
Tionghoa sebagai bagian dari “kita”, maka hal ini bisa memberi ruang sosial pada
aparat negara melakukan diskriminasi di lapangan.
10. Bagi siapapun yang ingin mendorong kultur (nilai dan norma) kewargaan
multi kultural, harus dapat menciptakan konteks untuk menghidupkan
identitas kolektif dan menghasilkan kinginan kolektif. Contoh dari konteks:
program penghapusan kemiskinan dengan memperhitungkan berbagai latar
belakang kelompok di dalamnya, perbaikan institusi negara untuk alokasi
sumber daya lebih baik, penciptkaan akuntabilitas pejabat publik. Program program
ini tidak langsung menangani keragaman golongan, namun
menciptakan suatu rasionalitas publik dan kestabilan sistem. Tidak ada gunanya
langsung merubah sistem menurut prinsip tertentu sebelum sistemnya sendiri
tegalk. Sebagai contoh, tegakan dulu birokrasi yang tidak korup, baru ubah agar
lebih sesuatu dengan karakter persoalan masyarakat yang beragam.
11. Dalam masyarakat bukan hanya terdapat perbedaan kultural berdasar latar
belakang suku, agama, namun juga perbedaan kapasitas untuk terlibat dalam
gagasan dan aksi kolektif. Karena itu pembaharuan institusional dibayangkan
mempunyai bermacam-macam komposit elemen tentang hak dan pembagian
tanggungjawab, kepemimpinan, hak dan kewajiban, kontrol, bahkan intervensi
pemerintah. Negara, sebagai akibatnya, harus relfektif dan mempunyai kapasitas
aktif, untuk bermain di banyak tali. Msukan dan Kerjasama dari organisasi
masyakat sipil karena itu sangat dibutuhkan bukan hanya untuk ketepatan
penanganan persoalan namun juga legitimasi.
Di Indonesia, aspek tanggungjawan intitusional/organisasional untuk dapat
hidup bersama belum banyak diperhatikan dan dipandang penting. Akibatnya,
aspek pembahruan organisasi masyarakat yang menjadi lebih sebagai “sarang“
untuk pengajuan identitas diri, bahkan untuk klaim sumber daya saja, juga tidak
ditangani secara memadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar